Landasan Sosial Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap bagian roda kehidupan manusia tidak pernah lepas dari unsur sosial dan budaya. Sepanjang kegiatan kehidupan manusia, aktivitasnya tidak terlepas dari kelompok manusia lainnya. Oleh karena itu manusia disebut sebagai mahluk sosial karena memerlukan kehadiran dan bantuan serta peran serta orang lain. Sosial budaya ini tercermin pada kegiatan sekelompok manusia secara bersama-sama. Hal-hal yang dikerjakan manusia, cara mengerjakannya, bentuk pekerjaan yang diinginkan merupakan unsur sebuah budaya.
Sebagai makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan yaitu melalui panca indera dalam hidupnya, manusia harus menggunakan semaksimal mungkin potensi tersebut sebagai bekal dalam menjalani hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Mengingat begitu besar dan berharganya potensi yang dimiliki manusia, maka manusia harus dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini. Walaupun ini nantinya akan berbeda untuk tiap individu yang tergantung pada kemampuan, latar belakang dan lain-lain. Pendidikan akan membantu perkembangan potensi dan kemampuan manusia agar bermanfaat dalam kepentingan hidupnya.
Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan sadar dan disengaja secara penuh tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan di semua lingkungan yang saling mengisi (rumah tangga, sekolah, masyarakat).
Era globalisasi mempengaruhi perubahan sosial budaya dunia pendidikan yang mengakibatkan pergeseran paradigma pendidikan dengan mengubah cara hidup, berkomunikasi, berpikir, dan cara bagaimana mencapai kesejahteraan. Dengan mengetahui begitu pesatnya arus perkembangan dunia diharapkan dunia pendidikan dapat merespon hal-hal tersebut secara baik dan bijak.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dijabarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah pengertian sosiologi pendidikan?
2. Bagaimanakah hubungan sosiologi dengan pendidikan ?
3. Bagaimanakah hubungan kebudayaan dengan pendidikan ?
4. Apa fungsi sosial budaya terhadap pendidikan ?
5. Apa dampak konsep pendidikan Indonesia terhadap masyarakatnya?

C. Tujuan dan manfaat
1. Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengertian sosiologi pendidikan.
b. Untuk mengetahui hubungan antara sosiologi dengan pendidikan.
c. Untuk mengetahui hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan.
d. Untuk mengetahui fungsi sosial budaya terhadap pendidikan.
e. Untuk mengetahui dampak konsep pendidikan Indonesia terhadap
masyarakatnya.

2. Manfaat
a. Manfaat teoritis
Pembahasan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu dan pengetahuan kepada semua yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya mahasiswa Teknologi Pendidikan.

b. Manfaat praktis
Diharapkan menjadi masukan kepada para pelaku pendidikan dan juga kepada para pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan agar dapat memanfaatkannya dalam pengembangan pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Sosiologi dan Pendidikan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pengertian Sosiologi Pendidikan, maka sebelumnya makalah ini akan membahas satu persatu tentang pengertian sosiologi dan pengertian pendidikan.

1. Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu socious dan logos, socious berarti teman dan logos berarti pengetahuan. Pengertian tersebut diperluas menjadi ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia atau masyarakat. Seiring dengan perkembangan sosiologi, para ahli telah memberikan definisi dengan sudut pandang yang berbeda-beda, seperti berikut ini.(Soerjono Soekamto, 2001:20).
 Menurut Roucek dan Warren sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dalam kelompok.
 Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial.
 August Comte berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu terutama mempelajari manusia sebagai makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan sesamanya.
 Menurut Abu Ahmadi Objek penelitian sosiologi adalah tingkah laku manusia dalam kelompok. Sudut pandangnya ialah memandang hakekat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sedangkan susunan pengetahuan dalam sosiologi terdiri atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan perkembangan pribadi.
 Sosiologi juga dapat didefinisikan sebagai studi ilmiah tentang masyarakat dan tentang aspek kehidupan manusia yang diambil dari “kehidupan di dalam masyarakat”(Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial).
Sosiologi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sosiologi umum yang menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, dan sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang menyelidiki aspek kehidupan sosio-kultural
secara mendalam, salah satunya adalah sosiologi pendidikan.

Sosiologi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. empiris : bersumber dan diciptakan dari kenyataan yang terjadi di lapangan.
2. teoretis : merupakan peningkatan fase penciptaan, bisa disimpan dalam waktu
lama dan dapat diwariskan kepada generasi muda.
3. komulatif : berkomulasi mengarah kepada teori yang lebih baik.
4. nonetis : menceritakan apa adanya, tidak menilai apakah hal itu baik atau
buruk.

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang membahas atau mempelajari interaksi dan pergaulan antara manusia dalam kelompok dan struktur sosial.

2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah asas, dasar atau fondasi yang memperkuat dan memperkokoh dunia pendidikan dalam rangka untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Sama halnya dengan pengertian manusia, pengertian pendidikan banyak sekali ragam dan berbeda satu dengan lainnya. Hal ini tergantung dari sudut pandang masing-masing.

Beberapa ahli mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:
 Menurut Driyakarya, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.
 Crow and Crow berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya, membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.
 Sedangkan Ki Hajar Dewantara juga berpendapat bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intelek) dan jasmani anak.
 Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 bab 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat.

Dari beberapa pendapat tentang pengertian pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses mendidik, yakni proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik agar mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dalam lingkungannya sehingga akan menimbulkan perubahan dalam dirinya, yang dilakukan dalam bentuk pembimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan.

3. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Pada pembahasan sebelumnya tentang pengertian Sosiolog dan juga Pendidikan, maka beberapa ahli membuat sebuah pengertian tentang Sosiologi Pendidikan.

Berikut adalah beberapa pengertian Sosiologi Pendidikan oleh para ahli, yaitu:
 Abu Ahmadi berpendapat, sosiologi pendidikan adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas proses interaksi sosial anak-anak mulai dari keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta dengan kondisi-kondisi sosio-kultural yang terdapat dalam masyarakat dan negaranya. Beliau juga menyatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari tentang proses belajar dan mempelajari antara orang yang satu dengan orang lain (education sociology should be centered bout the process of inter-learning-learning from one another).
 Menurut Sanapiah Faisal, sosiologi pendidikan adalah : 1) Analisis terhadap pendidikan selaku alat kemajuan sosial; 2) Sebagai pemberi tujuan bagi pendidikan; 3) Hubungan antara sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat; 4) Hubungan antara manusia dalam persekolahan; 5) Hubungan antara sekolah dengan masyarakat; dan peranan pendidikan di masyarakat.
 Sedangkan Gunawan mengatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.

4. Hubungan Sosiologi dengan Pendidikan
Unsur sosial merupakan aspek individual alamiah yang ada sejak manusia itu lahir. Langeveld mengatakan “Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas atau kemampuan untuk bergaul, saling berkomunikasi yang pada hakikatnya terkandung unsur saling memberi dan saling menerima (Umar Tirtarahardja, 2005:18). Aktivitas sosial tercermin pada pergaulan sehari-hari, saat terjadi interaksi sosial antarindividu yang satu dengan yang lain atau individu dengan kelompok, serta antar kelompok. Di dalam interaksi ini ada keterkaitan saling mempengaruhi (Abu Ahmadi, 2003:13). Langeveld dalam Abu Ahmadi menyatakan, tiap-tiap pergaulan orang dewasa (orang tua) dengan anak merupakan lapangan atau suatu tempat dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung. (2003:15).
Dalam hubungannya dengan pendidikan, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya, selain mempelajari cara manusia berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya serta susunan dan keterkaitan unit-unit masyarakat atau unit sosial dalam suatu wilayah (Made Pidarta, 2000:145). Salah satu bagian sosiologi yang dapat dipandang sebagai sosiologi khusus adalah sosiologi pendidikan. Dapat pula dikatakan ilmu ini merupakan analisa ilmiah terhadap proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan.
Wuradji (1988) menulis bahwa sosiologi pendidikan meliputi : 1) interaksi guru-siswa; 2) dinamika kelompok di kelas dan di organisasi intra sekolah; 3) struktur dan fungsi sistem pendidikan dan; 4) sistem masyarakat dan pengaruhnya terhadap pendidikan. Wujud dari sosiologi pendidikan adalah tentang konsep proses sosial.

Menurut Made Pidarta, pembentukan karakter berdasarkan interaksi sosial melalui empat bentuk :
1. Imitasi (peniruan)
2. Sugesti (menerima atau tertarik pada pandangan atau sikap orang lain yang berwibawa atau berwenang atau mayoritas. Dalam hal ini sugesti bisa terjadi baik melalui himbauan atau paksaan)
3. Identifikasi (berusaha menyamakan dirinya dengan orang lain secara sadar ataupun dibawah sadar)
4. Simpati (terjadi manakala seseorang merasa tertarik kepada orang lain atau berdasarkan kesenangan).
menurut Karyono, pembentukan karakter manusia melalui interaksi sosial ditambahkan menjadi :
5. Empati
6. Introspeksi
Untuk mempermudah sosialisasi dalam pendidikan, maka seorang guru harus menciptakan situasi, terutama pada dirinya, agar faktor-faktor yang mendasari sosialisasi itu muncul pada diri peserta didik. Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu : 1) kontak antar individu; 2) kontak antar individu dengan kelompok atau sebaliknya; 3) kontak antar kelompok.
Dalam dunia pendidikan ada istilah kelompok sosial. Kelompok ini dapat berbentuk kelompok personalia sekolah, kelompok guru, kelompok siswa, kelas, subkelas, kelompok belajar di rumah dan sebagainya. Suatu kelompok sosial dikatakan dinamis dan stabil, jika kelompok ini berusaha maju mengikuti arah perkembangan zaman atau mengantisipasi perkembangan ilmu dan teknologi dengan tetap memperhatikan kestabilan kelompok.
Wuradji (1988) menyebutkan tiga prisip yang melandasi kestabilan kelompok, yaitu : integritas, ketenangan dan konsensus. Untuk menciptakan dinamika yang stabil di sekolah, sebaiknya sekolah berperan sebagai micro order atau keteraturan kecil (Broom,1988) atau sekolah kecil sebagai masyarakat kecil.
Dalam sosiologi, perilaku manusia bertalian dengan nilai-nilai, dan sekolah-sekolah harus memperhatikan pengembangan nilai-nilai ini pada peserta didik di sekolah. Tugas-tugas tersebut harus sejalan dengan salah satu pasal dalam UU pendidikan RI yang mengatakan bahwa sekolah/pemerintah, orang tua, siswa dan masyarakat secara bersama-sama bertanggung jawab atas lancarnya pelaksanaan pendidikan. Hal ini senada dengan pendapat Wuradji (1988) yang mengemukakan sekolah sebagai kontrol sosial dan sebagai perubahan sosial.

B. Kebudayaan dan Pendidikan
1. Pengertian Kebudayaan
Beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli tentang pengertian kebudayaan:
 Menurut Taylor kebudayaan adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.
 Imran Hasan mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan nilai-nilai kepandaian.
 Sedangkan Kneller mengatakan kebudayaan adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat.

2. Hubungan Kebudayaan dengan Pendidikan.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yaitu nilai-nilai. Pendidikan membuat orang berbudaya, pendidikan dan budaya bersama dan memajukan. Makin banyak orang menerima pendidikan makin berbudaya orang itu dan makin tinggi kebudayaan makin tinggi pula pendidikan atau cara mendidiknya.
Karena ruang lingkup kebudayaan sangat luas, mencakup segala aspek kehidupan manusia, maka pendidikan sebagai salah satu aspek kehidupan dalam kebudayaan. Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan alienasi dari subjek yang dididik dan seterusnya kemungkinan matinya kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu kebudayaan umum harus diajarkan pada semua sekolah. Sedangkan kebudayaan daerah dapat dikaitkan dengan kurikulum muatan lokal, dan kebudayaan populer juga diajarkan dengan proporsi yang kecil.
Maka dapat kita simpulkan bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga bisa berubah dan bila pendidikan berubah akan dapat mengubah kebudayaan. Pendidikan adalah suatu proses membuat orang memasukkan budaya, membuat orang berprilaku mengikuti budaya yang memasuki dirinya. Sekolah sebagai salah satu dari tempat enkulturasi suatu budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan bagi anak dalam mengembangkan dirinya.

C. Fungsi Sosial Budaya terhadap Pendidikan
Kegiatan pendidikan merupakan proses interaksi antara dua individu, dua generasi yang memungkinkan generasi muda mengembangkan dirinya. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi dalam lembaga yang disebut SEKOLAH. Sekolah sengaja dibentuk oleh masyarakat agar pola dan kegiatan pendidikan semakin intensif (Umar Tirtarahardja, 2005:95).
Interaksi antar individu, antar kelompok, terjadi karena ada aksi dan reaksi (dalam fisika dinyatakan sebagai Hukum 3 Newton), yaitu hubungan antara gaya dua benda yang besarnya sama namun arahnya berlawanan. Interaksi ini terjadi dalam dunia persekolahan sebagai bagian kecil dari masyarakat pendidikan yang membentuk karakter peserta didik.
Dari interaksi sosial ini akan memunculkan budaya-budaya, seperti : budaya berpakaian, budaya bertingkah laku, budaya berkarakter, budaya belajar, budaya menulis, budaya mendengarkan, budaya mengajar, serta budaya-budaya yang lain yang terjadi dari interaksi sosial tersebut.
Secara normatif benturan-benturan sosiokultural dapat di-enkulturasi dan di-asimilasi dalam Budaya Pancasila sebagaimana butir-butir sila yang ada dan sudah dijalan sejak dulu kala, namun perkembangan kemajuan, perkembangan zaman, perkembangan pergaulan masyarakat lokal, nasional, regional, global menuntut adanya peningkatan hubungan tersebut.
Sosiologi pendidikan adalah sebuah warisan budaya dari generasi kegenerasi, agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan identitas masyarakat itu tetap terpelihara. Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan hampir setiap kegiatan manusia tidak terlepas dari unsur sosial budaya.
Dalam perkembangan landasan sosial budaya memiliki fungsi yang amat penting dalam dunia pendidikan yaitu :
1) Mewujudkan masyarakat yang cerdas
Yaitu masyarakat yang Pancasilais yang memiliki cita-cita dan harapan bangsa, demokratis dan beradab, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan bertanggung jawab dan berakhlak mulia tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif serta memiliki kesadaran dan solidaritas antar generasi dan antara bangsa.
2) Transmisi budaya
Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.
3) Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial berfungsi memberantas atau memperbaiki suatu perilakuyang menyimpang. Pengendalian sosial juga berfungsi melindungikesejahteraan masyarakat seperti lembaga pemasyarakatan dan lembaga pendidikan.
4) Meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan YME
Pendidikan sebagai budaya haruslah dapat membuat anak-anak mengembangkan kata hati dan perasaannya taat terhadap ajaran-ajaran agama yang dipeluknya.
5)Analisis Kedudukan Pendidikan dalam Masyarakat
Hubungan antara lembaga pendidikan dengan masyarakat dapat dianalogikan sebagai selembar kain batik. Dalam hal ini motif-motif atau pola-pola gambarnya adalah lembaga pendidikan dan kain latarnya adalah masyarakat. Antara lembaga pendidikan dengan masyarakat terjadi hubungan timbal balik simbiosis mutualisme. Pendidikan atau sekolah memberi manfaat untuk meningkatkan peranan mereka sebagai warga masyrakat.

E. Dampak Konsep Pendidikan
Konsep pendidikan mengangkat derajat manusia sebagai makhluk budaya yaitu makhluk yang diberkati kemampuan untuk menciptakan nilai kebudayaan dan fungsi budaya dan pendidikan adalah kegiatan melontarkan nilai-nilai kebudayaan dari generasi ke generasi.
Kebudayaan masyarakat jika dikaitkan dengan pendidikan maka ditemukan sejumlah konsep pendidikan.
a) Keberadaan sekolah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sekitarnya.
b) Perlu dibentuk badan kerjasama antara sekolah dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk wakil orang tua siswa untuk ikut memajukan pendidikan.
c) Proses sosialisasi anak-anak perlu ditingkatkan.
d) Dinamika kelompok dimanfaatkan untuk belajar.
e) Kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia ikut mempengaruhi pendidikan atau perkembangan anak. Sebaliknya pendidikan juga dapat mengubah kebudayaan anak. (Made Pidarta, 1997:191-192).


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari hasil hasil pembahasan yang telah disajikan pada Bab II, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sosiologi merupakan ilmu yang membahas atau mempelajari interaksi dan pergaulan antara manusia dalam kelompok dan struktur sosial.
2. Kebudayaan adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.
3. Sosiologi pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan dan interaksi manusia, baik itu individu atau kelompok dengan peresekolahan sehingga terjalin kerja sama yang sinergi dan berkesinambungan antara manusia dengan pendidikan.
4. bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga bisa berubah dan bila pendidikan berubah akan dapat mengubah kebudayaan.
5. Hubungan antara lembaga pendidikan dengan masyarakat dapat dianalogikan sebagai selembar kain batik. Dalam hal ini motif-motif atau pola-pola gambarnya adalah lembaga pendidikan dan kain latarnya adalah masyarakat. Antara lembaga pendidikan dengan masyarakat terjadi hubungan timbal balik simbiosis mutualisme. Pendidikan atau sekolah memberi manfaat untuk meningkatkan peranan mereka sebagai warga masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
Made, Pidarta. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2000
Ruswandi, Uus. Hermawan Heris, A. Nurhamzah. Landasan Pendidikan. Bandung: CV. Insan Mandiri, 2008.
Sutikno Sobry, M. Landasan Pendidikan. Bandung: Prospect, 2008.
Tim Sosiologi. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Yudhistira, 2003.
www.newyouth.com/archives
www.re-searchengines.com

Landasan Sosiologi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap bagian roda kehidupan manusia tidak pernah lepas dari unsur sosial dan budaya. Sepanjang kegiatan kehidupan manusia, aktivitasnya tidak terlepas dari kelompok manusia lainnya. Oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial karena memerlukan kehadiran dan bantuan serta peran serta orang lain.
Sebagai makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan yaitu melalui panca indera dalam hidupnya, manusia harus menggunakan semaksimal mungkin potensi tersebut sebagai bekal dalam menjalani hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Mengingat begitu besar dan berharganya potensi yang dimiliki manusia, maka manusia harus dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini. Walaupun ini nantinya akan berbeda untuk tiap individu yang tergantung pada kemampuan, latar belakang dan lain-lain. Pendidikan akan membantu perkembangan potensi dan kemampuan manusia agar bermanfaat dalam kepentingan hidupnya. Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan sadar dan disengaja secara penuh tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan di semua lingkungan yang saling mengisi (rumah tangga, sekolah, masyarakat).
Pada level individu, pendidikan merupakan proses sosialisasi dan pembudayaan melalui interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang menempati status tertentu dalam struktur sosialnya. Pendidikan merupakan proses pelestarian dan perubahan budaya. Melalui pendidikan, berlangsung pewarisan komponen-komponen budaya yang telah dibina dan dipelihara secara turun temurun, namun sejalan dengan itu melalui pendidikan orang diharapkan akan mampu membentuk hari esok yang lebih baik daripada hari ini dan hari kemarin yang dilewatinya. Meskipun secara teknis setiap masyarakat mengembangkan sistem pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosio-budaya yang berlaku dan karakteristik masyarakatnya, tujuan akhirnya adalah sama yaitu mengembangkan pribadi-pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, beriman dan bertakwa, bermental kuat, produktif, kreatif, dan mandiri, bermakna bagi dirinya dan turut bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat dan manusia pada umumnya.
Interaksi sosial merupakan kata kunci dalam proses pendidikan. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh mutu interaksi itu. Dengan siapa ia berinteraksi, pesan-pesan apa yang disampaikan, bagaimana interaksi itu berlangsung, media dan sarana-prasarana apa yang digunakan, serta bagaimana dampak interaksi itu pada pihak-pihak yang terlibat.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dijabarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah pengertian sosiologi ?
2. Bagaimanakah latar belakang historis sosiologi pendidikan ?
3. Bagaimana landasan sosiologi pendidikan ?
4. Bagaimana ruang lingkup dan fungsi landasan sosiologi pendidikan ?
5. Bagaimana masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional ?

C. Tujuan dan manfaat
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengertian sosiologi pendidikan.
b. Untuk mengetahui latar belakang historis sosiologi pendidikan
c. Untuk mengetahui landasan sosiologi pendidikan
d. Untuk mengetahui ruang lingkup landasan sosiologi pendidikan
e. Untuk mengetahui masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional
Manfaat teoritis dari pembahasan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu dan pengetahuan kepada semua yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya mahasiswa Teknologi Pendidikan, sedangkan manfaat praktisnya diharapkan menjadi masukan kepada para pelaku pendidikan dan juga kepada para pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan agar dapat memanfaatkannya dalam pengembangan pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu socious dan logos, socious berarti teman dan logos berarti pengetahuan. Pengertian tersebut diperluas menjadi ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia atau masyarakat. Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit dari pengelompokan hewan. Pada hewan, hidup berkelompok memiliki ciri-ciri (Wayan Ardhana, 1986) sebagai berikut : 1) ada pembagian kerja, 2) ada ketergantungan antar anggota, 3) ada kerjasama antar anggota, 4) ada komunikasi antar anggota, 5) ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam kelompok lain. Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia. Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas sosial, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain.
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di bentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

B. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, 2007: 78).
Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat untuk memecahkan permasalahan sosial dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yang menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology dan menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1948, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan dari American Sociological Society.
Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena pergeseran pandangan tentang masyarakat sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96). Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan yang terkemuka adalah Durkheim (1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan Pendidikan pada Universitas Sorbonne.
Di Jerman, Max Weber (1864-1920) menyoroti keadaan dan penyelenggaraan pendidikan pada masyarakat dengan latar belakang sosial budaya serta tingkat kemajuan berbeda. Sedang di Inggris, perhatian sosiologi pada pendidikan pada awalnya kurang berkembang karena pelopor sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer (1820-1903) justru merupakan Darwinisme Sosial. Namun belakangan, di Inggris muncul aliran sosiologi yang memfokuskan perhatiannya akan analisis pendidikan pada level mikro, yaitu mengenai interaksi sosial yang terjadi dalam ruang belajar. Berstein, misalnya, berusaha dengan jalan menyajikan lukisan tentang kenyataan dan permasalahan yang terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan agar para pengambil keputusan menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat. Pendekatan Berstein ini oleh Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic, descriptive, and policy focused (Rochman Natawidjaja, 2007: 80).
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.

C. Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu : 1) paham individualisme, 2) paham kolektivisme, 3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: 1) kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, 2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, 3) negara melindungi warga negaranya, dan 4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut: 1) Hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lain, 2) Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, 3) Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan, 4) Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman Natawidjaja, 2007: 81). Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat di definisi sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi sosial antara orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik (Rochman Natawidjaja, 2007: 82).
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga fungsi pokok yatu :
1. fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya.
2. fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang.
3. fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara pendidikan dengan pranata kehidupan lain.

E. Masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama, antara lain: 1) ada interaksi antara warga-warganya, 2) pola tingkah laku warganya diatur oleh adapt istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas, 3) ada rasa identitas kuat yang mengikat para warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni 1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan 2) secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah 1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok sosial atau golongan sosial jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, 2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi, 3) seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan konsensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, 4) diantara kelompok relatife seringkali mengalami konflik, 5) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, 6) adanya dominasi politiuk oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok sosial yang lain, dan 7) secara relative integrasi sosial sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986)
Pada masa Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun secara vertikal, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Berbagai upaya telah dilakukan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) dan sekitarnya.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu socious dan logos, socious berarti teman dan logos berarti pengetahuan. Pengertian tersebut diperluas menjadi ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia atau masyarakat.
Landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Sosiologi pendidikan dituntut untuk melakukan tiga fungsi, yaitu: 1) fungsi eksplanasi, 2) fungsi prediksi, 3) fungsi utilisasi. Secara umum, sosiologi pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya tersebut melalui pengkajian fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan ke-Bhineka Tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.

B. Saran
Dengan mengetahui secara singkat tentang landasan sosiologi, maka diharapkan bagi para pendidik dapat mengembangkan fungsi-fungsi sosiologi pendidikan dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional. Serta diharapkan partisipasi dari peserta diskusi untuk memberikan saran-saran yang konstruktif agar penulisan ke depan lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA


1. Ardhana, Wayan, 1986, Dasar-dasar Kependidikan, FIP IKIP, Malang.
2. Natawidjaya, R., Sukmadinata, N.S., Ibrahim. Djohar, A., 2007, Ilmu Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis, Universitas Pendidikan Indonesia.
3. Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, 1994, Pengantar Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
4. Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, 2005, Pengantar Pendidikan, Rhineka Cipta, Jakarta.

Tes Acuan Patokan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep baru dalam pengukuran proses pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (learned-centered) adalah penilaian yang berpusat pada pebelajar (learner-centered assessment ). Definisi learner-centered assessment sejajar dengan definisi tradisional test acuan patokan, sebagai element inti dari pembelajaran yang didesain secara sistematis. Tipe test ini penting untuk mengevaluasi perkembangan pebelajar dan kualitas pembelajaran. Hasil dari tes acuan patokan memberikan indikasi instuktur seberapa baik pebelajar mampu mencapai setiap tujuan pembelajaran, dan mengindikasikan komponen mana dari pembelajaran yang bisa berjalan dengan baik, dan komponen mana yang perlu direvisi. Selain itu juga, tes acuan patokan memungkinkan pebelajar untuk merefleksikan diri dengan mengaplikasikan kriteria untuk menilai hasil kerja mereka sendiri.

B. Rumusan Masalah
Berhubungan dengan hal tersebut di atas perlu dibahas bagaimana menyusun dan membangun aspek penilaian dalam pembelajaran yang mencakup semua jenis kegiatan yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik setelah menyelesaikan unit pembelajaran. Maka hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan tes acuan patokan?
2. Bagaimana cara menyusun dan mengembangkannya?

C. Tujuan dan manfaat
1. Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk:
1. mengetahui tes acuan patokan.
2. mengetahui cara menyusun dan mengembangkannya
2. Manfaat
Pembahasan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu dan pengetahuan kepada semua yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya mahasiswa Teknologi Pendidikan dalam menyusun instrumen penilaian untuk mengetahui prestasi belajar siswa.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tes Acuan Patokan
Tes acuan patokan adalah salah satu dari model pengembangan desain instruksional Dick and Carey. Model desain instruksional ini dikembangkan oleh Walter Dick, Lou Carey dan James O Carey. Model ini merupakan model prosedural, yaitu model yang menyarankan agar penerapan prinsip disain instruksional disesuaikan dengan langkah-langkah yang harus di tempuh secara berurutan.
Model pengembangan desain instruksional menurut Dick dan Carey:
1. Identifikasi Tujuan (Identity Instructional Goal(s)).
2. Melakukan Analisis Instruksional (Conduct Instructional Analysis)
3. Analisis Pembelajar dan Lingkungan (Analyze Learners and Contexts).
4. Merumuskan Tujuan Performansi (Write Performance Objectives).
5. Pengembangan Tes Acuan Patokan (Develop Assessment Instruments).
6. Pengembangan Siasat Instruksional (Develop Instructional Strategy).
7. Pengembangan atau Memilih Material Instruksional (Develop and Select Instructional Materials).
8. Merancang dan Melaksanakan Penilaian Formatif (Design and Conduct Formative Evaluation of Instruction).
9. Revisi Instruksional (Revise Instruction).
10. Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif (Design And Conduct Summative Evaluation).

Tes acuan patokan (penilaian) berfungsi untuk mengukur kemampuan pebelajar seperti yang diperkirakan tujuan. Perkembangan tes dibuat pada proses desain pengajaran setelah pelajaran dikembangkan. Alasan utamanya adalah bahwa item tersebut harus berkaitan dengan tujuan prestasi. Prestasi yang diperlukan dalam tujuan tersebut harus sesuai dengan prestasi yang diperlukan dalam item tes atau tugas prestasi. Sifat dari item tersebut akan diberikan kepada pebelajar dan berfungsi sebagai kunci terhadap pengembangan strategi pengajaran
B. Konsep Pengembangan
1. Pengembangan Berdasarkan Tes Acuan Patokan
Pengembangan butir-butir tes berdasarkan acuan patokan digunakan untuk mengukur sejauh mana siswa telah mencapai tujuan instruksional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan penampilan siswa dalam pengujian dengan patokan yang telah ditentukan sebelumnya. Tes acuan patokan disebut juga tes acuan tujuan.
Bagi seorang perancang pembelajaran harus mengembangkan butir tes acuan patokan, karena hasil tes pengukuran tersebut berguna untuk: (a). mendiagnosis dan menempatkan dalam kurikulum; (b). Men-checking hasil belajar dan kesalahan pengertian sehingga dapat diberikan pembelajaran remedial sebelum pembelajaran dilanjutkan; (c). menjadi dokumen kemajuan belajar.
Dalam mengembangkan butir-butir tes acuan patokan, Dick and Carrey (1985) merekomendasikan empat macam tes acuan patokan, yaitu:
a. Entry behavior test
Tes ini diberikan kepada pebelajar sebelum memulai pembelajaran. Tes ini berguna untuk mengukur keterampilan syarat atau keterampilan yang harus sudah dikuasai sebelum pembelajaran dimulai. Keterampilan syarat akan muncul di bawah garis entry behavior.

b. Pre-test
Tes ini dilakukan pada awal pembelajaran untuk mengetahui apakah pebelajar sudah menguasai beberapa atau semua keterampilan yang akan diajarkan. Tujuannya adalah untuk efisiensi. Jika semua keterampilan sudah dikuasai maka tidak perlu ada pembelajaran. Namun jika hanya sebagian materi yang sudah dikuasai maka data tes ini memungkinkan desainer untuk lebih efisien. Mungkin hanya review atau pengingat yang dibutuhkan. Bila program tersebut merupakan sesuatu yang baru, maka tes inipun dapat ditiadakan. Maksud dari pretes ini bukanlah untuk menentukan nilai akhir tetapi lebih mengenal profil anak didik berkenaan.
Biasanya pretest dan entry behavior test dijadikan satu. Hasil dari tes entry behavior dapat digunakan desainer untuk mengetahui apakah pebelajar siap memulai pembelajaran, sedangkan dari hasil pretest, desainer dapat memutuskan apakah pembelajaran akan
menjadi terlalu mudah untuk pebelajar.

c. Practice test
Tes ini diberikan selama siswa sedang dalam proses belajar (Uno, 2007: 28, tes tersebut tes sisipan). Tes ini berfungsi untuk melihat apakah siswa memang telah dapat menangkap apa yang sedang dibicarakan dan juga untuk membuat pebelajar lebih aktif berpartisipasi selama pembelajaran. Tes ini memungkinkan pebelajar untuk menampilkan pengetahuan dan keterampilan baru dan untuk refleksi diri sampai level berapa keterampilan dan pengetahuan mereka. Tes ini berisi keterampilan yang lebih sedikit dan lebih fokus pada materi per pertemuan daripada per unit. Hasil tes ini digunakan instruktur untuk memberikan feedback dan untuk memonitor pembelajaran.

d. Post-test
Tes ini paralel dengan pre-test. Sama dengan pre-test, post-test mengukur tujuan pembelajaran. Post-test harus menilai semua objektif dan terutama fokus pada objektif terakhir. Namun jika waktu tidak memungkinkan, maka hanya tujuan akhir dan keterampilan penting saja yang diujikan.
Post-test mungkin digunakan untuk menilai performa pebelajar dan untuk memberi kredit karena telah menyelesaikan program. Tujuan yang terutama dari tes ini adalah agar desainer dapat mengidentifikasi area pembelajaran yang tidak bisa dilakukan dengan baik. Jika pebelajar gagal dalam tes, desainer harus dapat mengidentifikasi dalam proses pembelajaran yang mana tidak dimengerti oleh siswa. Tes ini merupakan tes acuan patokan yang mencakup pengukuran semua tujuan intruksional khusus yang ada terutama tujuan intruksional yang bersifat terminal. Dengan tes ini dapat diketahui bagian-bagian mana diantara pembelajaran yang belum dicapai.

2. Mendesain Tes
Pertimbangan pertama adalah menyesuaikan bidang pelajaran dengan item atau tipe tugas penilaian.Verbal information biasanya di tes dengan objektif tes. Tes bentuk obektif meliputi format seperti jawaban singkat, jawaban alternatif, mencocokkan, dan pilihan ganda. Objektif untuk intelektual skill lebih kompleks dan biasanya menggunakan model objektif, kreasi produk atau pertunjukan langsung. Penilaian untuk ranah afektif juga kompleks. Biasanya tidak ada cara langsung untuk mengukur tingkah laku seseorang. Penilaian di ranah ini biasanya dilakukan dengan observasi. Penilaian ranah psikomotor biasanya dilakukan dengan mendemonstrasikan tugas. Untuk melihat apakah setiap langkah telah dilakukan dengan baik oleh pebelajar, guru membuat check-list atau rating-scale.

3. Menentukan Level Penguasaan
Peneliti yang meneliti sistem penguasaan pelajaran menyarankan bahwa penguasaan equivalent dengan level keberhasilan yang diharapkan dari pebelajar yang terbaik. Metode untuk menentukan level penguasaan menggunakan acuan norma. Pendekatan yang kedua, bisa digunakan cara statistik. Jika desainer ingin memastikan bahwa pebelajar benar-benar mengerti keterampilan sebelum mereka melanjutkan tahap pembelajaran selanjutnya, maka kemungkinan-kemungkinan harus disediakan untuk menampilkan keterampilan sehingga hampir tidak mungkin keberhasilan menjadi hasil utama. Jika menggunakan soal pilihan ganda sangat mudah untuk menghitung probabilitas kesempatan keberhasilan. Dengan tipe soal yang lain, lebih sulit dilakukan penghitungan tapi lebih mudah untuk meyakinkan orang lain bahwa keberhasilan bukan sekedar kesempatan saja

4. Menulis Item Tes
Ada empat kategori tes yang berkualitas, yaitu:
a. Berpusat pada Tujuan (Goal-Centered Criteria)
Soal tes dan penugasan harus sesuai dengan tujuan utama pembelajaran. Soal dan penugasan harus sesuai dengan perilaku termasuk konsep dan action. Untuk menyesuaikan jawaban soal tes dengan perilaku yang diharapkan dalam tujuan, desainer harus mempertimbangkan tugas belajar atau kata kerja yang ditunjukkan dalam tujuan. Butir soal harus mengukur perilaku yang sesungguhnya yang dideskripsikan dalam tujuan.

b. Berpusat pada pebelajar (Learner-Centered Criteria)
Tes item dan penilaian tugas harus disesuaikan dengan kharakteristik dan kebutuhan siswa, meliputi kosa kata, bahasa, tingkat kompleksitas tugas, motivasi siswa, dan tingkat ketertarikan siswa, pengalaman siswa, dan latar belakang siswa serta kebutuhan khusus siswa.

c. Berpusat pada kontek (Context-Centered Criteria)
Dalam membuat tes item dan penilaian tugas, desainer harus mempertimbangkan seting kinerja dan juga lingkungan belajar atau lingkungan kelas. Tes item dan tugas harus realistis atau relevan dengan seting kinerja. Kriteria ini membantu untuk memastikan transfer pengetahuan dan skill dari belajar ke dalam lingkungan kinerja.

d. Berpusat pada penilaian (Assessment-Centered Criteria)
Siswa akan merasa cemas selama assessment, penyusunan tes item dan penilaian tugas yang baik dapat menghilangkan rasa cemas siswa. Cetakan tes yang berkualitas meliputi kebahasaan baik, pengucapan dan tanda baca tepat dan tulisan jelas, petunjuk jelas, sumber materi dan pertanyaan jelas. Kriteria ini membantu siswa untuk melakukan dengan tenang.
5. Setting Penguasaan Kriteria
Terdapat beberapa saran yang dapat membantu anda dalam menentukan berapa banyak tes item pilihan yang diperlukan. Jika tes item memerlukan sebuah format respon yang memungkinkan siswa dapat menebak jawaban dengan benar anda dapat memasukkan beberapa tes item paralel untuk tujuan yang sama jika kemungkinan menebak jawaban yang benar kecil kemungkinan, anda dapat memutuskan satu atau dua item untuk menentukan kemampuan siswa

6. Jenis-jenis Item
Pertanyaan penting lainnya adalah jenis tes item atau penilaian tugas apa yang paling baik dalam menilai kinerja siswa? Perilaku tertentu dalam objektif memberikan point-point penting terhadap jenis item atau tugas yang dapat digunakan untuk menguji perilaku.
Contoh: jika point penting yang ditanyakan kepada siswa adalah mengingat fakta, maka tanyakan kepada siswa tersebut dengan jawaban siswa yang menyatakan fakta-fakta daripada memberikan pertanyaan yang meminta reaksi siswa seperti pada pertanyaan pilihan ganda. gunakan objektif sebagai guide, dalam menyeleksi jenis tes item yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mendemonstrasikan kinerja tertentu yang terdapat dalam objektif. Setiap jenis test items mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk meyeleksi jenis tes items yang baik dari beberapa format test item yang ada, pertimbangkan beberapa faktor seperti faktor waktu yang diperlukan oleh siswa dalam memberikan respon, waktu penilaian yang diperlukan untuk menganalisis dan memutuskan jawaban, suasana ujian, dan kemungkinan dalam menebak jawaban yang benar.

7. Menulis Petunjuk
Test harus terdapat petunjuk yang jelas, singkat. Permulaan tes biasanya menyebabkan kecemasan pada siswa yang akan dinilai. Oleh karena itu tes seharusnya mengurangi keraguan pada pikiran siswa mengenai apa yang akan mereka kerjakan dalam menyelesaikan test.
Dibawah ini informasi petunjuk test yang biasanya ditemukan dalam test :
a. Judul test seharusnya memberikan kesan kepada siswa mengenai content atau isi daripada kata-kata sederhana seperti Pretest atau Test I
b. Pernyataan singkat yang menerangkan objective atau performance yang diujikan.
c. Siswa diberitahu untuk menebak jawaban jika mereka tidak yakin dengan jawaban yang benar.
d. Petunjuk khusus seharusnya diucapkan dengan benar.
e. Siswa diberitahu agar menulis nama mereka atau identitas mereka.
f. Siswa seharusnya diberitahu mengenai penggunaan perlengkapan khusus dalam menyelesaikan test seperti penggunan pensil, lembar jawaban mesin, teks-teks tertentu atau perlengkapan khusus lainnya.

8. Mengevaluasi Tes dan Item Tes
Arah dan uji test item untuk tes objektif harus diujicobakan terlebih dulu sebelum digunakan untuk evaluasi formatif. Agar tidak terjadi kesalahan pada instrumen tes , perancang harus memastikan hal-hal berikut:
arah tes jelas, sederhana, dan mudah diikuti;
masing-masing item tes jelas dan menyampaikan kepada peserta didik yang dimaksud dipembentukan atau stimulus;
kondisi-kondisi dimana dibuat tanggapan yang realistis;
metode respon jelas bagi peserta didik; dan
ruang yang tepat, waktu, dan peralatan yang tersedia .

Tes item yang tidak terjawab oleh sebagian besar pelajar harus dianalisis, direvisi, atau bahkan diganti sebelum tes diberikan lagi. Ketika membangun item tes, dan tes pada umumnya, perancang harus diingat bahwa tes mengukur kecukupan: (l) pengujian itu sendiri; (2) bentuk tanggapan; (3) bahan-bahan pengajaran; (4) lingkungan pengajaran dan situasi, dan (5) pencapaian pelajar.



BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Tes acuan patokan adalah salah satu dari model pengembangan desain instruksional Dick and Carey. Merupakan model prosedural, penerapan prinsip disain instruksional disesuaikan dengan langkah-langkah yang harus di tempuh secara berurutan. Tes acuan patokan berada pada urutan kelima dari model pengembangan Dick and Carey.
Konsep Pengembangan
1. Empat macam tes acuan patokan, yaitu:
a. Entry behavior test
b. Pre-test
c. Practice test
d. Post-test
2. Mendesain Tes
Pertimbangan pertama adalah menyesuaikan bidang pelajaran dengan item atau tipe tugas penilaian. Untuk melihat apakah setiap langkah telah dilakukan dengan baik oleh pebelajar, guru membuat check-list atau rating-scale.
3. Menentukan Level Penguasaan
Metode untuk menentukan level penguasaan menggunakan acuan norma. Pendekatan yang kedua, bisa digunakan cara statistik.
4. Menulis Item Tes
Ada empat kategori tes yang berkualitas, yaitu: 1) berpusat pada tujuan (Goal Centered Criteria); 2) berpusat pada pebelajar (Learner-Centered Criteria); 3) berpusat pada kontek (Context-Centered Criteria); 4) berpusat pada penilaian (Assessment-Centered Criteria)
5. Setting Penguasaan Kriteria
6. Jenis-jenis Item
7. Menulis Petunjuk
8. Mengevaluasi Tes dan Item Tes
Agar tidak terjadi kesalahan pada instrumen tes, perancang harus memastikan hal-hal berikut: 1) arah tes jelas, sederhana, dan mudah diikuti; 2) masing-masing item tes jelas dan menyampaikan kepada peserta didik yang dimaksud dipembentukan atau stimulus; 3) kondisi-kondisi dimana dibuat tanggapan yang realistis; 4) metode respon jelas bagi peserta didik; dan 5) ruang yang tepat, waktu, dan peralatan yang tersedia .
Tes item yang tidak terjawab oleh sebagian besar pelajar harus dianalisis, direvisi, atau bahkan diganti sebelum tes diberikan lagi. Ketika membangun item tes, dan tes pada umumnya, perancang harus diingat bahwa tes mengukur kecukupan: (l) pengujian itu sendiri; (2) bentuk tanggapan; (3) bahan-bahan pengajaran; (4) lingkungan pengajaran dan situasi, dan (5) pencapaian pelajar.

B. Saran
Kami menyadari makalah ini tidak sempurna, untuk memenuhi kebutuhan wawasan rekan-rekan semua disarankan untuk melengkapi dengan referensi lain.







DAFTAR PUSTAKA
Dick and Carey 2000.

Filosofi Ajaran Buddha

FILOSOFI AJARAN BUDDHA


A. Pengantar
Buddha Gotama, pendiri ajaran Buddha, hidup dibagian Utara India pada abad ke-6 SM atau sekitar 2553 tahun yang lalu. Nama pribadi-Nya adalah Siddhattha. Beliau dipanggil Buddha setelah mencapai pencerahan atau menyadari kebenaran sejati. Buddha berarti “ Yang Tersadarkan atau Yang Tercerahkan “, secara umum Beliau menyebut diri-Nya sendiri Tathagata, sementara pengikut-Nya memanggil-Nya Bhagava, “ Yang Terberkahi “. Ada pula yang menyebut-Nya Gotama atau Sakyamuni.
Apakah ajaran Buddha itu ? Pertanyaan ini telah membingungkan banyak orang yang sering bertanya-tanya apakah ajaran Buddha adalah suatu filosofi, agama atau jalan hidup. Jawaban yang sederhana adalah ajaran Buddha terlalu luas dan terlalu dalam untuk ditempatkan dengan rapi di dalam suatu kategori biasa. Tentu saja ajaran Buddha mencakup filosofi, agama dan jalan hidup. Tetapi ajaran Buddha lebih dari kategori-kategori tersebut.
Ajaran Buddha mengandung kebijaksanaan praktis yang tidak dapat dibatasi pada teori atau filosofi karena filosofi terutama berhubungan dengan pengetahuan tetapi tidak peduli dengan penerjemahan pengetahuan dalam praktik sehari-hari. Ajaran Buddha memberi penekanan khusus pada praktik dan penyadaran. Buddha tidak menguraikan teori filosofis yang revolusioner dan Beliau tidak mencoba untuk menciptakan suatu bahan pengetahuan baru. Dengan terus terang menjelaskan tentang apa yang ada di dalam dan apa yang ada di luar, sepanjang hal itu menyangkut pembebasan dari dukkha dan mengungkapkan jalan pembebasan dari dukkha. ( Ada banyak cara pemahaman kata Pali “ Dukkha “ secara umum kata ini diterjemahkan sebagai penderitaan atau ketidakpuasan, tetapi dalam ajaran Buddha arti dukkha lebih dalam dan luas )
Lebih lanjut Buddha tidak menjelaskan semua yang diketahui, tetapi Beliau hanya menjelaskan hal yang benar-benar berguna bagi pencerahan seseorang, dan berdiam diri dengan khas terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menyimpang dari tugas suci-Nya. Dalam hal ini Buddha mendahului banyak sarjana dan filsuf modern.
Descartes ( 1596 – 1650 ) menyatakan perlunya pengujian semua perwujudan pada batas keragu-raguan yang masuk akal.
Spinoza (1632–1677), disamping mengakui bahwa adanya statu kehidupan yang kekal, menegaskan bahwa semua kehidupan adalah tidak kekal. Menurut dia penderitaan harus diatasi dengan mendapatkan suatu objek pengetahuan yang tidak berubah, yang tidak berlangsung sebentar, tetap kekal, permanen, abadi.
Hegel (1770–1831) mengatakan segala perwujudan adalah proses pembentukan.
Henri Bergson (1859–1941) menyokong ajaran tetntang perubahan dan menekankan nilai intuisi.
William James (1842–1910) mengarah pada suatu arus kesadaran dan mengingkari adanya suatu jiwa .
Buddha menguraikan kebenaran-kebenaran (Dhamma) tentang perubahan (anicca), dukkha dan tanpa jiwa (anatta) lebih dari 2500 tahun yang lalu.
Ajaran Buddha bersifat universal yaitu setiap orang boleh mempelajari ajaran Buddha, tidak melihat ras, sistem kepercayaan lain, tidak memihak kepada siapa pun dan benar-benar bersifat universal.

B. Etika Ajaran Buddha
Etika dalam ajaran Buddha tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika dalam ajaran Buddha pada hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab akibat moral (kamma). Fakta sederhana bahwa etika dalam ajaran Buddha berakarkan hukum alam membuat prinsip-prinsipnya bermanfaat dan dapat diterima oleh dunia modern. Walaupun kode etika ajaran Buddha disusun lebih dari 2500 tahun yang lalu, keabadian sifatnya tidak berkurang.
Moralitas ajaran Buddha yang sering dilaksanakan oleh umat awam adalah Lima Sila, yang memuat dua tujuan. Pertama, hal itu memungkinkan manusia untuk hidup bersama dalam komunitas beradab dengan saling percaya dan menghormati. Kedua adalah merupakan titik awal dari perjalanan spiritual menuju pembebasan. Tidak seperti perintah, sila (aturan) ini diterima dengan sukarela oleh orang itu sendiri, khususnya jika ia menyadari manfaat penerapan aturan latihan untuk mendisiplinkan perbuatan, perkataan dan pikirannya. Sebab terdekat yang menimbulkan sila adalah adanya hiri dan ottappa. Hiri adalah malu berbuat salah dan Ottappa adalah takut pada akibat perbuatan salah.
Karena ajaran Buddha bersifat universal, jika setiap orang menerapkan konsep hiri dan ottappa, maka negara kita Indonesia bisa saja terlepas dari masalah misalnya korupsi (moral rendah). Sebagai contoh kasus Bank Century, dari pemberitaan media yang kita dapat, maka dapat muncul pertanyaan, mengapa pemerintah bisa mengucurkan dana sebesar Rp. 6,4 triliyun untuk membantu Bank Century, yang dilihat track recordnya jelek. Dan pertanyaan ini sampai saat ini tidak dapat dijawab, sehingga kasus ini tidak bisa selesai. Apakah ada suatu kekuatan atau power atau kekuasaan yang menginginkan keadaan tersebut ? Kasus lain, banyaknya pejabat-pejabat yang melakukan korupsi sehingga negara dirugikan. Negara kita adalah negara yang beragama, tetapi negara ke 11 terkorup di dunia. Dari beberapa contoh di atas, maka saya menyimpulkan bahwa moral/etika kita sebagian besar tidak baik. Oleh sebab itu pendapat saya sebaiknya dalam meningkatkan etika/moral, diterapkan konsep hiri dan ottappa, konsep ini universal, siapa saja boleh menerapkannya.

C. Ajaran Buddha Sejalan Dengan Perkembangan IPTEK
Albert Einstein memberi penghormatan kepada ajaran Buddha saat ia berkata dalam otobiografinya :
” Religion without science is blind. Science without religion is lame. The religion of the future will be a cosmic religion. It should transcend a personal god and avoid dogmas and theology. Covering both the natural and the spiritual it should be based on a religious sense arising from the experience of all things, natural and spiritual as meaningful unity. Buddhism answers this description. “
“ Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta. Ilmu pengetahuan tanpa agama tidak bisa berjalan / lumpuh. Agama di masa datang adalah agama kosmik. Agama tersebut seharusnya melampaui konsep Tuhan yang bersifat pribadi dan menghindari dogma-dogma dan teologi. Dengan mencakup bidang alam dan spiritual, agama itu harus didasari pada makna agama yang lahir dari pengalaman terhadap segala fenomena alam, spiritual sebagai suatu kesatuan yang bermakna. Ajaran Buddha menjawab deskripsi ini. Bila ada agama yang dapat mengatasi kebutuhan pengetahuan modern, agama tersebut adalah agama Buddha.
Ajaran Buddha tidak memerlukan revisi untuk membuatnya up to date dengan penemuan ilmiah modern. Ajaran Buddha tidak menyerahkan pandangannya kepada ilmu pengetahuan karena ajaran Buddha mencakup dan melampaui ilmu pengetahuan. Ajaran Buddha adalah jembatan antara pemikiran religius dan ilmiah, dengan memicu manusia untuk menemukan potensi-potensi laten dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Ajaran Buddha tidak lekang oleh waktu.

Cloning/Pengarasan
Secara umum, definisi cloning atau pengarasan adalah proses memperbanyak materi biologi yang dapat mencakup DNA, sel, tissue, organ, maupun organisme, di mana materi yang diperbanyak tersebut (clone) memiliki DNA yang sama dengan induknya. Karena DNA (deoxyribonucleic acid) menyimpan informasi genetik, maka clone memiliki informasi genetik yang sama dengan induknya. Ada 3 jenis cloning/pengarasan :
1. DNA cloning, juga dikenal dengan sebutan molecular cloning, recombinant DNA technology, dan gene cloning. Sesuai definisi yang diberikan, maka materi biologi yang di-clone dalam proses DNA cloning adalah DNA itu sendiri. Ilmuwan menggunakan recombinant DNA technology untuk memproduksi protein (protein expression & purification), mentransfeksi sel (transfection) untuk mempelajari fungsi protein tersebut di dalam sel, dan untuk berbagai aplikasi biologi lainnya.
Karena DNA cloning pada umumnya tidak merugikan makhluk hidup, maka DNA cloning tentunya tidak bertentangan dengan etika Buddhis. DNA cloning merupakan teknik biologi yang digunakan secara luas dan bebas di laboratorium-laboratorium biologi di seluruh dunia.
2. Therapeutic cloning, adalah proses cloning jaringan (tissue) maupun organ, di mana hasil clone tissue/organ tersebut hanya akan digunakan untuk keperluan terapi medik. Therapeutic cloning diawali dengan proses somatic cell nuclear transfer (SCNT), di mana nucleus (inti sel) dari ovum (sel telur) diganti dengan nucleus dari sel somatik yang akan di-clone (induk). Sel somatik mencakup sel-sel tubuh kecuali sel reproduktif (sperma dan ovum). Biasanya therapeutic cloning ini sering digunakan untuk pasien yang mengalami gagal ginjal, jantung dan organ penting lainnya.
Walau belum terdapat kesepakatan antara para ilmuwan biologi dan kaum terpelajar Buddhis lainnya tentang therapeutic cloning ini, akan tetapi jelas bahwa dalam Buddhisme sel-sel tubuh kita tak dianggap sebagai makhluk hidup, karena dalam ajaran Buddha, yang dikatakan makhluk hidup terdiri dari unsur nama (batiniah) dan rupa (fisik).
3. Reproductive cloning, adalah proses membuat organisme baru (clone) di mana DNA clone tersebut memiliki identitas yang sama dengan DNA induknya. Proses yang digunakan dalam reproductive cloning adalah sama dengan proses therapeutic cloning, akan tetapi embrio yang terbentuk tersebut dibiarkan berkembang di dalam rahim (surrogate mother). Biasanya cloning ini dilakukan untuk mendapatkan ras unggul di dalam industri peternakan. Ajaran Buddha menjelaskan bahwa terbentuknya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin. Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimbal lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimbal lahir ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pâli: paticcasamupâda), yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Oleh karena itu, maka konsep cloning ini tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha dalam aspek filsafat, akan tetapi dalam aspek pragmatic (praktisnya), reproductive cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis.

Tumimbal Lahir
Keinginan tak terpuaskan akan keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab tumimbal lahir. Doktrin tumimbal lahir tidak hanya semata-mata teori, tetapi sebagai kenyataan yang dapat dibuktikan. Kepercayaan akan kebenaran tumimbal lahir membentuk suatu prinsip fundamental ajaran Buddha. Akan adanya tumimbal lahir atau secara umum diartikan sebagai kelahiran yang berulang-ulang, hal ini benar-benar dapat dibuktikan melalui hipnosis. Sebagai contoh pada buku “ The Many Lives of Alan Lee “. Buku ini merupakan riset yang membuktikan bahwa kehidupan lampau benar-benar ada. Riset ini dilakukan oleh Ormond McGill bersama Irvin Mordes, spesialis di bidang hipnoterapi kehidupan lampau ( Past Life Hynotherapy ). Riset ini dilakukan di Maryland Psychiatric Center pada tahun 1974. Buku ini berisikan tentang 16 kehidupan lampau dari Alan Lee. Saat diregresi ke kehidupan lampaunya dalam kondisi hipnosis, subjek mampu menulis dan berbicara dengan sangat fasih sesuai dengan bahasa pada kehidupan lampaunya, dan bukti-bukti autentik telah di validasi oleh tim riset.

D. Penutup
Uraian yang dikemukakan di atas hanya merupakan sebagian kecil tentang filosofi ajaran Buddha. Ajaran Buddha adalah ajaran yang universal, dapat dipelajari oleh setiap orang tanpa memandang ras, agama, suku dan sebagainya. Setiap ajaran Buddha dapat diterapkan di mana saja, baik dalam ruang lingkup kecil, misalnya rumah tangga, sampai dengan ruang lingkup yang besar, misalnya pemerintahan. Ajaran Buddha juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengembangkan ilmu pengetahuan misalnya sains. Ajaran Buddha adalah ajaran tentang kebenaran (Dhamma) atau dengan bahasa umum adalah ajaran tentang hukum alam.
Sebagai suatu ajaran moral, ajaran Buddha melebihi semua sistem etika yang lain, tetapi moralitas hanya merupakan permulaan atau modal dasar untuk mencapai tataran yang lebih tinggi atau kesucian sempurna (pencerahan). Hiri dan ottappa merupakan suatu konsep yang sangat baik sekali untuk diterapkan di dalam beretika, sehingga moral setiap individu akan dapat dikontrol dengan memiliki rasa malu berbuat kejahatan dan rasa takut menerima hasil dari kejahatan yang dilakukan atau mendapat konsekwensi hukum. Atas dasar ini saya berpendapat bahwa kesadaran seorang individu itu sangat penting sekali. Kesadaran merupakan hal utama dalam melakukan segala perbuatan (tindakan). Dengan adanya kesadaran, jika perbuatan tersebut bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan, maka lakukan perbuatan tersebut, tetapi jika sebaliknya maka hentikan. Sehingga dari kesadaran ini muncul kebenaran. Saya menyimpulkan bahwa kesadaran itu adalah kebenaran.
Dalam satu sisi ajaran Buddha bukan suatu filsafat, dalam sisi yang lain, ajaran Buddha adalah filsfat dari filsafat.
Dalam satu sisi ajaran Buddha bukan suatu agama, dalam sistem yang lain, ajaran Buddha adalah agama dari agama.


Sumber Acuan :
- Dhammananda, Sri, 2005, Keyakinan Umat Buddha, Jakarta, Yayasan Penerbit Karaniya.
- Dhammavisarada, Pandita Drs., Teja S.M. Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Jakarta, Penerbit Buddhis Bodhi.
- McGill, Ormond with Irvin Mordens, The Many Lives Of Alan Lee, Hasil Riset Yang Membuktikan Kehidupan Lampu Benar-Benar Ada.
- N. Andromeda, Phd., 2009, Kisah Sebuah Rakit Tua, Edisi ke-2, Medan, Patria Sumut.
- Taniputera, Ivan Dipl.Ing., 2003, Sains Modern Dan Buddhisme, Jakarta, Yayasan Penerbit Karanya.
- Ven.Narada, Mahatera, 1998, Sang Buddha dan Ajaran-Ajaranya, Bagian 2, Jakarta, Yayasan Dhammadipa Arama.

Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Dalam menjalankan tugasnya, secara ideal guru merupakan agen pembaharuan. Sebagai agen pembaharuan, guru diharapkan selalu melakukan langkah-langkah inovatif berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukannya. Langkah inovatif sebagai bentuk perubahan paradigma guru tersebut dapat dilihat dari pemahaman dan penerapan guru tentang Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK sangat mendukung program peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang muaranya adalah peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini, karena dalam proses pembelajaran, guru adalah praktisi dan teoretisi yang sangat menentukan. Peningkatan kualitas pembelajaran, merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) yang semakin pesat. Perkembangan Ipteks mengisyaratkan penyesuaian dan peningkatan proses pembelajaran secara berkesinambungan, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan kualitas lulusan dan keberadaan sekolah tempat guru itu mengajar.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. apa yang dimaksud dengan Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ) ?
2. bagaimana pentingnya PTK ?
3. apa karakteristik PTK ?
4. apa prinsip PTK ?
5. apa tujuan PTK ?
6. apa manfaat PTK ?
7. bagaimana prosedur PTK ?
8. bagaimana model PTK ?

3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada makalah ini adalah tentang Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ).

4. Tujuan dan Manfaat
4.1. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan pada makalah ini adalah :
1. untuk mengetahui pengertian Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )
2. untuk mengetahui pentingnya PTK
3. untuk mengetahui karakteristik PTK
4. untuk mengetahui prinsip PTK
5. untuk mengetahui tujuan PTK
6. untuk mengetahui manfaat PTK
7. untuk mengetahui prosedur PTK
8. untuk mengetahui model PTK

4.2. Manfaat
Adapun manfaat dari pembahasan pada makalah ini adalah :
1. menambah wawasan pembaca tentang Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )
2. sebagai bahan masukan bagi para guru yang akan melakukan PTK




BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )
Penelitian tindakan telah mulai berkembang sejak perang dunia kedua, saat ini PTK sedang berkembang dengan pesatnya di Negara-negara maju. Para ahli penelitian pendidikan akhir-akhir ini menaruh perhatian yang cukup besar terhadap PTK. Oleh sebab itu, terdapat banyak pengertian tentang PTK. Istilah PTK dideferensiasi dari pengertian-pengertian sebagai berikut :
Kemmis (1992): Action research as a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice of (a) their on social or educational practices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are carried out.
McNeiff (2002): action research is a term which refer to a practical way of looking at your own work to sheck that it is you would like it to be. Because action research is done by you, the practitioner, it is often referred to as practitioner based research; and because it involves you thinking about and reflecting on your work, it can also be called a form of self-reflective practice.
Berdasarkan penjelasan Kemmis dan McNeiff tersebut, dapat dicermati pengertian PTK secara lebih rinci dan lengkap. PTK didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas sehari-hari, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari empat tahapan, planing, action, observation/evaluation, dan reflection.

2. Pentingnya Penelitian Tindakan Kelas
Peningkatan kompetensi guru merupakan tanggung jawab moral bagi para guru di sekolah. Peningkatan kompetensi guru mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Upaya peningkatan keempat kompetensi merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru. Peningkatan profesionalisme dapat dicapai oleh guru dengan cara melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) secara berkesinambungan. Praktik pembelajaran melalui PTK dapat meningkatkan profesionalisme guru. Hal ini, karena PTK dapat membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan hasil belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru.
Kurt Lewin (dalam Prendergast, 2002:2) secara tegas menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas merupakan cara guru untuk mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan pengalamannya sendiri atau pengalamannya berkolaborasi dengan guru lain. Sementara itu, Calhoun dan Glanz (dalam Prendergast, 2002:2) menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu metode untuk memberdayakan guru yang mampu mendukung kinerja kreatif sekolah. Di samping itu, Prendergast (2002:3) juga menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas merupakan wahana bagi guru untuk melakukan refleksi dan tindakan secara sistematis dalam pengajarannya untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Cole dan Knowles (Prendergast (2002:3-4) menyatakan bahwa, penelitian tindakan kelas dapat mengarahkan para guru untuk melakukan kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu dengan yang lain dengan tujuan tidak hanya tentang program dan metode mengajar, tetapi juga membantu para guru mengembangkan hubungan-hubungan personal. Pernyataan Knowles tersebut juga didukung oleh Noffke (Prendergast (2002:5), bahwa penelitian tindakan kelas dapat mendorong para guru melakukan refleksi terhadap praktek pembelajarannya untuk membangun pemahaman mendalam dan mengembangkan hubungan-hubungan personal dan sosial antar guru. Whitehead (1993) menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas dapat memfasilitasi guru untuk mengembangkan pemahaman tentang pedagogi dalam rangka memperbaiki pemberlajarannya.
Penjelasan-penjelasan teoretis tersebut mengindikasikan, bahwa pemahaman dan penerapan PTK akan membantu guru untuk mengembangkan keempat kompetensi. PTK akan memfasilitasi guru untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi profesional, pedagogi, kepribadian, dan sosial. Agar PTK tidak lepas dari tujuan perbaikan diri sendiri, maka sebelum seorang guru atau para guru memulai merancang dan melaksanakan PTK, perlu memperhatikan hal-hal berikut :
a. PTK adalah alat untuk memperbaiki atau menyempurnakan mutu pelaksanaan tugas sehari-hari (mengajar yang mendidik), oleh karena itu hendaknya sedapat mungkin memilih metode atau model pembelajaran yang sesuai yang secara praktis tidak mengganggu atau menghambat komitmen tugasnya sehari-hari.
b. Teknik pengumpulan data jangan sampai banyak menyita waktu, sehingga tugas utama guru tidak terbengkalai.
c. Metodologi penelitian hendaknya memberi kesempatan kepada guru untuk merumuskan hipotesis yang kuat, dan menentukan strategi yang cocok dengan suasana dan keadaan kelas tempatnya mengajar.
d. Masalah yang diangkat hendaknya merupakan masalah yang dirasakan dan diangkat dari wilayah tugasnya sendiri serta benar-benar merupakan masalah yang dapat dipecahkan melalui PTK oleh guru itu sendiri.
e. Sejauh mungkin, PTK dikembangkan ke arah meliputi ruang lingkup sekolah.

3. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Karakteristik PTK yang dapat membedakannya dengan penelitian formal adalah sebagai berikut :
a. PTK merupakan prosedur penelitian di kelas yang dirancang untuk menanggulangi masalah nyata yang dialami guru berkaitan dengan siswa di kelas itu.
b. Metode PTK diterapkan secara kontekstual, dalam arti bahwa variabel-variabel yang ditelaah selalu berkaitan dengan keadaan kelas itu sendiri.
c. PTK terarah pada suatu perbaikan atau peningkatan kualitas pembelajaran, dalam arti bahwa hasil atau temuan PTK itu adalah pada diri Guru telah terjadi perubahan, perbaikan, atau peningkatan sikap dan perbuatannya.
d. PTK bersifat luwes dan mudah diadaptasi.
e. PTK banyak mengandalkan data yang diperoleh langsung atas refleksi diri peneliti.
f. PTK sedikitnya ada kesamaan dengan penelitian eksperimen dalam hal percobaan tindakan yang segera dilakukan dan ditelaah kembali efektivitasnya.
g. PTK bersifat situasional dan spesisifik, yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk studi kasus.
Perbandingan Penelitian Formal dengan PTK
Penelitian Formal
1. Dilakukan oleh orang lain
2. Sampel harus representatif
3. Instrumen harus valid dan reliabel
4. menggunakan analisis statistik
5. Menggunakan hipotesis
6. Mengembangkan teori

Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
1. Dilakukan sendiri oleh guru
2. Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan
3. Validitas dan reliabilitas instrumen tidak diperhatikan
4. Tidak diperlukan analisis statistik yang rumit
5. Tidak selalu menggunakan hipotesis
6. Memperbaiki pembelajaran

4. Prinsip Penelitian Tindakan Kelas
Terdapat 6 prinsip penelitian tindakan kelas menurut Hopkins. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sebagai seorang guru yang pekerjaan utamanya adalah mengajar, seyogyanya PTK yang dilakukan tidak mengganggu komitmennya sebagai pengajar.
2. Teknik pengumpulan data tidak menuntut waktu dan cara yang berlebihan.
3. Metodologi yang digunakan hendaknya dapat dipertanggung jawabkan reliabilitasnya yang memungkinkan guru dapat mengidentifikasi dan merumuskan hipotesis secara meyakinkan, mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelas, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesis tindakannya.
4. Masalah yang terungkap adalah masalah yang benar-benar membuat guru galau, sehingga atas dasar tanggung jawab profesional, dia didorong oleh hatinya untuk memiliki komitmen dalam rangka menemukan jalan keluarnya melalui PTK.
5. Pelaksanaan PTK seyogyanya mengindahkan tata krama kehidupan berorganisasi.
6. Permasalahan yang hendaknya dicarikan solusinya lewat PTK hendaknya tidak terbatas hanya pada konteks kelas atau mata pelajaran tertentu, tetapi tetap mempertimbangkan perspektif sekolah secara keseluruhan.

5. Tujuan Penelitian Tindakan Kelas
Tujuan PTK dapat digolongkan atas dua jenis, tujuan utama dan tujuan sertaan. Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tujuan utama pertama, melakukan perbaikan dan peningkatan layanan profesional guru dalam menangani proses pembelajaran. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan melakukan refleksi untuk mendiagnosis kondisi, kemudian mencoba secara sistematis berbagai model pembelajaran alternatif yang diyakini secara teoretis dan praktis dapat memecahkan masalah pembelajaran. Dengan kata lain, guru melakukan perencanaan, melaksanakan tindakan, melakukan evaluasi, dan refleksi.
2. Tujuan utama kedua, melakukan pengembangan keteranpilan guru yang bertolak dari kebutuhan untuk menanggulangi berbagai persoalan aktual yang dihadapinya terkait dengan pembelajaran. Tujuan ini dilandasi oleh tiga hal penting, (1) kebutuhan pelaksanaan tumbuh dari guru sendiri, bukan karena ditugaskan oleh kepala sekolah, (2) proses latihan terjadi secara hand-on dan mind-on, tidak dalam situasi artifisial, (3) produknya adalah sebuah nilai, karena keilmiahan segi pelaksanaan akan didukung oleh lingkungan.
3. Tujuan sertaan, menumbuh kembangkan budaya meneliti di kalangan guru.

6. Manfaat Penelitian Tindakan Kelas
PTK dapat memberikan manfaat sebagai inovasi pendidikan yang tumbuh dari bawah, karena guru adalah ujung tombak pelaksana lapangan. Dengan PTK guru menjadi lebih mandiri yang ditopang oleh rasa percaya diri, sehingga secara keilmuan menjadi lebih berani mengambil prakarsa yang patut diduganya dapat memberikan manfaat perbaikan. Rasa percaya diri tersebut tumbuh sebagai akibat guru semakin banyak mengembangkan sendiri pengetahuannya berdasarkan pengalaman praktis. Dengan secara kontinu melakukan PTK, guru sebagai pekerja profesional tidak akan cepat berpuas diri lalu diam
di zone nyaman, melainkan selalu memiliki komitmen untuk meraih hari esok lebih baik dari hari sekarang. Dorongan ini muncul dari rasa kepedulian untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kesehariannya.
Manfaat lainnya, bahwa hasil PTK dapat dijadikan sumber masukan dalam rangka melakukan pengembangan kurikulum. Proses pengembangan kurikulum tidak bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh gagasan-gagasan yang saling terkait mengenai hakikat pendidikan, pengetahuan, dan pembelajaran yang dihayati oleh guru di lapangan. PTK dapat membantu guru untuk lebih memahami hakikat pendidikan secara empirik.

7. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas
PTK merupakan proses pengkajian suatu masalah pada suatu kelas melalui sistem daur ulang dari berbagai kegiatan. Daur tersebut dapat dilaksanakan bertolak dari hasil refleksi diri tentang adanya unsur ketidakpuasan diri sendiri terhadap kinerja yang dilakukan dan yang dilalui sebelumnya. Misalnya, guru sadar bahwa hasil belajar siswa pada bidang studi yang diasuh selalu terpuruk. guru saat itu berpikir tentang strategi pembelajaran yang diterapkan selama ini, fasilitas yang mendukung pelajaran, lalu mencari kelemahan-kelemahan kinerja yang telah dilakukan yang diduga sebagai penyebab terpuruknya hasil belajar siswa. Untuk merencanakan tindakan perbaikan, ada beberapa pertanyaan yang dapat membantu guru, sebagai berikut. (1) Apa kepedulian anda terhadap kelas itu? (2) Mengapa anda peduli terhadap hal tersebut? (3) Apa yang menurut pendapat anda, anda dapat lakukan berkenan dengan hal itu? (4) Bukti-bukti yang bagaimana yang dapat anda kumpulkan untuk membantu menelaah apa yang terjadi? (5) Bagaimana anda akan mengumpulkan bukti-bukti itu? (6) Bagaimana anda akan memeriksa bahwa pertimbangan anda mengenai apa yang terjadi itu cukup tepat dan cermat?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu akan menghasilkan penilaian praktis tentang situasi yang dihadapi dan menghasilkan pula rencana yang mungkin digunakan untuk menangani situasi itu. Dalam hal seperti itu, daur ulang yang serupa dengan yang dikemukakan tersebut terjadi pula, yaitu dengan terjadinya apa yang dirasakan guru.

8. Model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa PTK yang sering digunakan sampai pada saat ini di dalam dunia pendidikan yaitu :
a. Model Kemmis, model ini dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc.Taggart tahun 1988. mereka menggunakan empat komponen penelitian tindakan (perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi) dalam suatu system spiral yang saling terkait.
b. Model Ebbut, model ini terdiri dari tiga tingkatan atau daur. Pada tingkat pertama, ide awal dikembangkan menjadi langkah tindakan pertama, kemudian tindakan pertama tersebut dimonitor implementasi pengaruhnya terhadap subjek yang diteliti. Semua akibatnya dicatat secara sistematis termasuk keberhasilan dan kegagalan yang terjadi. Catatan monitoring tersebut digunakan sebagai bahan revisi rencana umum tahap kedua. Pada tingkat kedua ini, rencana umum hasil revisi dibuat langkah tindakannya, dilaksanakan, monitoring efek tindakan yang terjadi pada subjek yang diteliti, dokumentasikan efek tindakan tersebut secara detail dan digunakan sebagai bahan untuk masuk ke tingkat tiga. Pada tingkatan ini, tindakan seperti yang dilakukan pada tingkat sebelumnya, dilakukan, didokumentasikan efek tindakan, kemudian kembali ketujuan umum penelitian tindakan untuk mengetahui apakah permasalahan yang telah dirumuskan dapat terpecahkan.
c. Model Elliot, model ini dikembangkan oleh dua orang sahabat, yaitu Elliot dan Edelman. Mereka mengembangkan dari model Kemmis dibuat dengan lebih rinci pada setiap tingkatannya, agar lebih memudahkan dalam tindakannya. Proses yang telah dilaksanakan dalam semua tingkatan tersebut digunakan untuk menyusun laporan penelitian. Dalam penelitian tindakan model ini, setelah ditemukan ide dan permasalahan yang menyangkut dengan peningkatan praktis maka dilakukan tahapan reconnaissance atau peninjauan lapangan. Tujuan peninjauan adalah untuk melakukan semacam studi kelayakan untuk mensinkronkan anatara ide utama dan perencanaan dengan kondisi lapangan, sehingga diperoleh perencanaan yang lebih efektif dan dibutuhkan subjek yang teliti. Setelah diperoleh perencanaan yang baik dan sesuai dengan keadaan lapangan maka tindakan yang terencana dan sistematis dapat diberikan kepada subjek yang diteliti. Pada akhir tindakan, peneliti melakukan kegiatan monitoring terhadap efek tindakan yang mungkin berupa keberhasilan dan hambatan disertai dengan faktor-faktor penyebabnya. Atas dasar hasil monitoring tersebut, peneliti dapat menggunakannya sebagai bahan perbaikan yang dapat diterapkan pada langkah tindakan kedua dan seterusnya sampai diperoleh informasi atau kesimpulan tentang apakah permasalahan yang telah dirumuskan dapat dipecahkan.
d. Model Mckernan, pada model ini, ide umum telah dibuat lebih rinci, yaitu dengan diidentifikasinya permasalahan, pembatasan masalah dan tujuan, penilaian kebutuhan subjek dan dinyatakan hipotesi atau jawaban sementara terhadap masalah di dalam setiap tingkatan atau daur. Perlu diperhatikan pada setiap daur tindakan yang ada selalu dievaluasi guna melihat hasil tindakan, apakah tujuan dan permasalahan penelitian telah dapat dicapai.



BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. PTK didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas sehari-hari, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan.
2. PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari empat tahapan, planing, action, observation/evaluation, dan reflection.
3. Terdapat 6 prinsip PTK menurut Hopkins
4. Tujuan PTK dapat digolongkan atas dua jenis yaitu tujuan utama dan tujuan sertaan
5. PTK dapat memberikan manfaat sebagai inovasi pendidikan, dapat dijadikan sumber masukan dalam rangka melakukan pengembangan krikulum.
6. PTK merupakan proses pengkajian suatu masalah pada suatu kelas melalui system daur ulang

2. Saran
Makalah ini bersifat penjelasan singkat mengenai Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ), maka untuk menambah pengetahuan yang lebih dari PTK sebaiknya melengkapinya dengan berbagai referensi mengenai PTK. Serta kepada para guru disarankan mengadakan PTK khusus di bidangnya masing-masing.



DAFTAR PUSTAKA

1. Emzir, Prof. Dr., M.Pd., 2007, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada
2. Sukardi, Prof. Ph.D., 2003, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta, PT. Bumi Aksara
3. http://karwono.wordpress.com/2008/02/27/artikel-penelitian-tindakan-kelas-classroom-action-research/
4. Prendergast, M., 2002, Action research: The improvement of student and teacher learning
http://educ.queensu.ca/ar/reports/MP2002.htm

Teori Algo-Heuristic dan Schematic

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Sebenarnya apa arti belajar, sehingga belajar dirasakan penting oleh manusia dalam kehidupannya. Belajar adalah suatu proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, bergerak, dan merasa untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku, pengetahuan dan teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut.
Dalam dunia pendidikan dikenal beberapa jenis teori belajar yang dirancang sebagai model untuk pembelajaran yang berasal dari temuan beberapa ahli psikologi dan pendidikan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang tentang proses belajar, maka teori belajar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yang sering ditetapkan untuk menerangkan proses belajar, yaitu : (1) teori behaviorisme, (2) teori kognitivisme, (3) teori humanistik, dan (4) teori sibernetik. Dalam aplikasi teori-teori belajar tergantung pada beberapa hal seperti sifat materi, karakteristik pebelajar, media belajar dan fasilitas belajar yang tersedia.

2. Batasan Masalah
Dalam mempelajari teori belajar yang akan diaplikasikan di dalam pembelajaran, banyak hal yang perlu di bahas, tetapi pada makalah ini kami akan membatasi pada Teori Algo-Heuristic dari Lev N. Landa (teori sibernetik) dan Teori Schematic dari Jean Piaget (teori kognitivisme).

3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah teori Algo-Heuristic ?
2. Bagaimanakah teori Schematic ?

4. Tujuan dan Manfaat
4.1 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Dapat mengetahui tentang teori Algo-Heuristic
2. Dapat mengetahui tentang teori Schematic.
4.2 Manfaat
Sedangkan manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang teori Algo-heuristic dan teori Schematic yang dapat diaplikasikan pada proses belajar atau pembelajaran.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Algo-Heuristic ( Algorithmico-Heuristic )
Teori Algo-heuristic merupakan salah satu bagian dari teori belajar Sibernetik. Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar daripada hasil belajar, namun dalam teori sibernetik, yang lebih penting adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. Informasi inilah yang akan menentukan proses. Bagaimana proses belajar akan berlangsung, sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari.
Asumsi lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Sebuah informasi akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Salah satu penganut aliran sibernetik adalah Lev N.Landa. Ia membedakan ada dua macam proses berpikir, yaitu proses berpikir algoritmik dan proses berpikir heuristic. Proses berpikir algoritmik yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus menuju satu target tujuan tertentu. Contoh proses algoritmis adalah: kegiatan menelpon, menjalankan mesin mobil, dan lain-lain. Sedangkan cara berpikir heuristic adalah cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target tujuan sekaligus. Memahami suatu konsep yang mengandung arti ganda dan penafsiran biasanya menuntut seseorang untuk menggunakan cara berpikir heuristic. Contoh proses berpikir heuristic adalah: operasi pemilihan atribut geometri, penemuan cara-cara pemecahan masalah, dan lain-lain.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan (dalam istilah teori sibernetik adalah sistem informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur, linier, sekuensial, sedangkan materi pelajaran lainnya akan lebih tepat bila disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Misalnya, agar siswa mampu memahami suatu rumus matematika, akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus tersebut disajikan secara algoritmik. Alasannya, karena suatu rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu. Namun untuk memahami makna suatu konsep yang lebih luas dan banyak mengandung interpretasi, misalnya konsep keadilan atau demokrasi, akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah “menyebar” atau berpikir heuristic, dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatik atau linier.
Landa sangat memberi perhatian pada proses belajar yang berjalan algoritmik. Karena itu ada empat kegiatan pokok dalam proses belajar mengajar menurut teori Landa, yaitu :
1. Identifikasi proses algoritmik yang mendasari suatu pemecahan persoalan (problem solving). Seorang guru misalnya, tahu rumus gravitasi, maka kewajiban dia sebenarnya tidak hanya memberi tahu siswa / pebelajar tentang rumus gravitasi, tetapi yang penting adalah dia harus menemukan cara agar pebelajar tahu bagaimana proses algoritmik yang benar untuk memecahkan suatu soal gravitasi dengan menggunakan rumus gravitasi. Guru tidak hanya sekedar mengatakan : ini ada soal, silakan pecahkan soal ini dengan rumus ini.
2. Mengidentifikasi hal-hal (operasi intelektual) yang tidak dapat dialgoritmikan. Tujuannya jelas, yakni agar guru tidak mencampuradukkan antara proses algoritmik dengan non algoritmik. Mempelajari sesuatu yang banyak mengandung penafsiran ganda seperti belajar melukis, akan tidak sesuai jika digunakan pendekatan algoritmik. Pendekatan heuristik akan lebih toleran terhadap berbagai penyimpangan dan improvisasi, dan tidak menuntut adanya proses berpikir linier seperti halnya berpikir algoritmik.
3. Bagi guru mampu mengajar dengan menggunakan proses algoritmik yang sudah diidentifikasikannya. Artinya guru tidak boleh mengajar dengan cara menyimpang ke sana kemari, tidak sesuai pada proses algoritmik yang seharusnya diikuti. Ini juga guru membutuhkan suatu rencana pembelajaran yang baik untuk setiap mata pelajaran yang diasuhnya.
4. Ini yang paling sulit, yaitu mengajar pebelajar sedemikian rupa agar mereka mampu mengembangkan pola berpikir algoritmik di dalam benak mereka, dengan harapan mereka akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah dibahas dalam pengajaran dengan cara yang sama sistematik dan logisnya. Hal ini bisa tercapai hanya jika guru mampu memberikan contoh konkret kepada pebelajar bagaimana sebenarnya berpikir algoritmik itu.

Menurut Landa ada dua cara mengajar proses algoritmik kepada pebelajar yaitu :
1. cara langsung menunjukkan proses algoritmik itu sendiri
2. dengan mengatur proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga pebelajar mampu menemukan proses algoritmik tersebut secara mandiri dengan cara mereka sendiri.

B. Teori Schematic
Jean Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schematic), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.
Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan
- Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan, minum.
- Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati
Jika schemas / skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan ekuilibrium (equilibrium), namu ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi disekuilibrium (disequilibrium) yaitu kondisi yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun bisa terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya : seringkali orang menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama.
Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran dan tingkat intelegensi anak itu.
Menurut Piaget, intelegensi terdiri dari tiga aspek yaitu : (1) struktur, disebut juga scheme, (2) isi, disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik ketika individu menghadapi suatu masalah, (3) fungsi yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual.
Fungsi ini terdiri dari dua macam yaitu (1) organisasi, berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheran, (2) adaptasi, penyesuaian dari individu terhadap lingkungannya.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Asimilasi
Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.
2. Akomodasi
Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap stimuli lingkungan.
Dalam struktur kognitif setiap individu harus ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya.
Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium-disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :
a. tahap Sensori Motor : 0 – 2 tahun
b. tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun
c. tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun
d. tahap Operasi Formal : 11 tahun keatas
Sebaran umur pada seiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.
a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dan lain-lain.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.
b. Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dan lain-lain. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.
c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objek. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi peranyaan, “Rambut Edith lebih terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-anak pada tahap operasional konkret mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.
Sebagai contoh eksperimen Piaget berikut ini :
Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “pak Pendek” dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api.
Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi.
Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya.
Kesimpulan pada tahap ini adalah :
Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan secara singkat tentang teori Algo-Heuristik dan Schematic, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Teori Algo-Heuristik adalah menemukan sendiri cara penyelesaian dalam suatu masalah dengan prosedural artinya diarahkan oleh guru dalam pemecahan suatu masalah.
2. Dua macam proses berpikir menurut Landa : (1) algoritmik, (2) heuristik
3. Empat kegiatan pokok dalam proses belajar mengajar menurut Landa : (1) identifikasi proses algoritmik, (2) mengidentifikasi hal-hal yang dapat dialgoritmakan, (3) guru mampu mengajar dengan proses algoritnmik, (4) guru mengajar pebelajar sedemikian rupa agar mampu mengembangkan pola pikir algoritmik
4. Menurut Landa ada dua cara mengajar proses algoritmik kepada pebelajar yaitu : (1) cara langsung menunjukkan proses algoritmik, (2) dengan mengatur proses pembelajaran sedemikian rupa
5. Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (Schematic), yaitu kumpulan dari skema-skema.
6. Empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis : (1) tahap Sensori Motor, (2) tahap Pra Operasi, (3) tahap Operasi Konkrit, (4) tahap Operasi Formal

B. Saran
Dengan mengetahui secara singkat tentang teori Algo-Heuristik dan Schematic, maka diharapkan pendidik dapat mengembangkan proses belajar dan mengajar di satuan pendidikan, memperhatikan proses pembelajaran yang terjadi. Dan untuk menambah wawasan yang lebih luas lagi, sebaiknya kita melengkapi dengan berbagai referensi lain.



DAFTAR PUSTAKA

1. Hamid, Prof.Dr.Abdul K,.M.Pd., 2009, Teori Belajar dan Pembelajaran (edisi kedua), Medan, FR. Dongoran.
2. Reigeluth, Charles M., 1983, Instructional Design Theories And Models : An Overview of Their Current Status, New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
3. http://khemakalyani.blogspot.com/2008/11/teori-algo-heuristic-lev-n-landa.hml
4. http://valmband.multiply.com/journal/item/12
5. http://www.dwiwahyuningsih.co.cc