Filosofi Ajaran Buddha

FILOSOFI AJARAN BUDDHA


A. Pengantar
Buddha Gotama, pendiri ajaran Buddha, hidup dibagian Utara India pada abad ke-6 SM atau sekitar 2553 tahun yang lalu. Nama pribadi-Nya adalah Siddhattha. Beliau dipanggil Buddha setelah mencapai pencerahan atau menyadari kebenaran sejati. Buddha berarti “ Yang Tersadarkan atau Yang Tercerahkan “, secara umum Beliau menyebut diri-Nya sendiri Tathagata, sementara pengikut-Nya memanggil-Nya Bhagava, “ Yang Terberkahi “. Ada pula yang menyebut-Nya Gotama atau Sakyamuni.
Apakah ajaran Buddha itu ? Pertanyaan ini telah membingungkan banyak orang yang sering bertanya-tanya apakah ajaran Buddha adalah suatu filosofi, agama atau jalan hidup. Jawaban yang sederhana adalah ajaran Buddha terlalu luas dan terlalu dalam untuk ditempatkan dengan rapi di dalam suatu kategori biasa. Tentu saja ajaran Buddha mencakup filosofi, agama dan jalan hidup. Tetapi ajaran Buddha lebih dari kategori-kategori tersebut.
Ajaran Buddha mengandung kebijaksanaan praktis yang tidak dapat dibatasi pada teori atau filosofi karena filosofi terutama berhubungan dengan pengetahuan tetapi tidak peduli dengan penerjemahan pengetahuan dalam praktik sehari-hari. Ajaran Buddha memberi penekanan khusus pada praktik dan penyadaran. Buddha tidak menguraikan teori filosofis yang revolusioner dan Beliau tidak mencoba untuk menciptakan suatu bahan pengetahuan baru. Dengan terus terang menjelaskan tentang apa yang ada di dalam dan apa yang ada di luar, sepanjang hal itu menyangkut pembebasan dari dukkha dan mengungkapkan jalan pembebasan dari dukkha. ( Ada banyak cara pemahaman kata Pali “ Dukkha “ secara umum kata ini diterjemahkan sebagai penderitaan atau ketidakpuasan, tetapi dalam ajaran Buddha arti dukkha lebih dalam dan luas )
Lebih lanjut Buddha tidak menjelaskan semua yang diketahui, tetapi Beliau hanya menjelaskan hal yang benar-benar berguna bagi pencerahan seseorang, dan berdiam diri dengan khas terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menyimpang dari tugas suci-Nya. Dalam hal ini Buddha mendahului banyak sarjana dan filsuf modern.
Descartes ( 1596 – 1650 ) menyatakan perlunya pengujian semua perwujudan pada batas keragu-raguan yang masuk akal.
Spinoza (1632–1677), disamping mengakui bahwa adanya statu kehidupan yang kekal, menegaskan bahwa semua kehidupan adalah tidak kekal. Menurut dia penderitaan harus diatasi dengan mendapatkan suatu objek pengetahuan yang tidak berubah, yang tidak berlangsung sebentar, tetap kekal, permanen, abadi.
Hegel (1770–1831) mengatakan segala perwujudan adalah proses pembentukan.
Henri Bergson (1859–1941) menyokong ajaran tetntang perubahan dan menekankan nilai intuisi.
William James (1842–1910) mengarah pada suatu arus kesadaran dan mengingkari adanya suatu jiwa .
Buddha menguraikan kebenaran-kebenaran (Dhamma) tentang perubahan (anicca), dukkha dan tanpa jiwa (anatta) lebih dari 2500 tahun yang lalu.
Ajaran Buddha bersifat universal yaitu setiap orang boleh mempelajari ajaran Buddha, tidak melihat ras, sistem kepercayaan lain, tidak memihak kepada siapa pun dan benar-benar bersifat universal.

B. Etika Ajaran Buddha
Etika dalam ajaran Buddha tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika dalam ajaran Buddha pada hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab akibat moral (kamma). Fakta sederhana bahwa etika dalam ajaran Buddha berakarkan hukum alam membuat prinsip-prinsipnya bermanfaat dan dapat diterima oleh dunia modern. Walaupun kode etika ajaran Buddha disusun lebih dari 2500 tahun yang lalu, keabadian sifatnya tidak berkurang.
Moralitas ajaran Buddha yang sering dilaksanakan oleh umat awam adalah Lima Sila, yang memuat dua tujuan. Pertama, hal itu memungkinkan manusia untuk hidup bersama dalam komunitas beradab dengan saling percaya dan menghormati. Kedua adalah merupakan titik awal dari perjalanan spiritual menuju pembebasan. Tidak seperti perintah, sila (aturan) ini diterima dengan sukarela oleh orang itu sendiri, khususnya jika ia menyadari manfaat penerapan aturan latihan untuk mendisiplinkan perbuatan, perkataan dan pikirannya. Sebab terdekat yang menimbulkan sila adalah adanya hiri dan ottappa. Hiri adalah malu berbuat salah dan Ottappa adalah takut pada akibat perbuatan salah.
Karena ajaran Buddha bersifat universal, jika setiap orang menerapkan konsep hiri dan ottappa, maka negara kita Indonesia bisa saja terlepas dari masalah misalnya korupsi (moral rendah). Sebagai contoh kasus Bank Century, dari pemberitaan media yang kita dapat, maka dapat muncul pertanyaan, mengapa pemerintah bisa mengucurkan dana sebesar Rp. 6,4 triliyun untuk membantu Bank Century, yang dilihat track recordnya jelek. Dan pertanyaan ini sampai saat ini tidak dapat dijawab, sehingga kasus ini tidak bisa selesai. Apakah ada suatu kekuatan atau power atau kekuasaan yang menginginkan keadaan tersebut ? Kasus lain, banyaknya pejabat-pejabat yang melakukan korupsi sehingga negara dirugikan. Negara kita adalah negara yang beragama, tetapi negara ke 11 terkorup di dunia. Dari beberapa contoh di atas, maka saya menyimpulkan bahwa moral/etika kita sebagian besar tidak baik. Oleh sebab itu pendapat saya sebaiknya dalam meningkatkan etika/moral, diterapkan konsep hiri dan ottappa, konsep ini universal, siapa saja boleh menerapkannya.

C. Ajaran Buddha Sejalan Dengan Perkembangan IPTEK
Albert Einstein memberi penghormatan kepada ajaran Buddha saat ia berkata dalam otobiografinya :
” Religion without science is blind. Science without religion is lame. The religion of the future will be a cosmic religion. It should transcend a personal god and avoid dogmas and theology. Covering both the natural and the spiritual it should be based on a religious sense arising from the experience of all things, natural and spiritual as meaningful unity. Buddhism answers this description. “
“ Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta. Ilmu pengetahuan tanpa agama tidak bisa berjalan / lumpuh. Agama di masa datang adalah agama kosmik. Agama tersebut seharusnya melampaui konsep Tuhan yang bersifat pribadi dan menghindari dogma-dogma dan teologi. Dengan mencakup bidang alam dan spiritual, agama itu harus didasari pada makna agama yang lahir dari pengalaman terhadap segala fenomena alam, spiritual sebagai suatu kesatuan yang bermakna. Ajaran Buddha menjawab deskripsi ini. Bila ada agama yang dapat mengatasi kebutuhan pengetahuan modern, agama tersebut adalah agama Buddha.
Ajaran Buddha tidak memerlukan revisi untuk membuatnya up to date dengan penemuan ilmiah modern. Ajaran Buddha tidak menyerahkan pandangannya kepada ilmu pengetahuan karena ajaran Buddha mencakup dan melampaui ilmu pengetahuan. Ajaran Buddha adalah jembatan antara pemikiran religius dan ilmiah, dengan memicu manusia untuk menemukan potensi-potensi laten dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Ajaran Buddha tidak lekang oleh waktu.

Cloning/Pengarasan
Secara umum, definisi cloning atau pengarasan adalah proses memperbanyak materi biologi yang dapat mencakup DNA, sel, tissue, organ, maupun organisme, di mana materi yang diperbanyak tersebut (clone) memiliki DNA yang sama dengan induknya. Karena DNA (deoxyribonucleic acid) menyimpan informasi genetik, maka clone memiliki informasi genetik yang sama dengan induknya. Ada 3 jenis cloning/pengarasan :
1. DNA cloning, juga dikenal dengan sebutan molecular cloning, recombinant DNA technology, dan gene cloning. Sesuai definisi yang diberikan, maka materi biologi yang di-clone dalam proses DNA cloning adalah DNA itu sendiri. Ilmuwan menggunakan recombinant DNA technology untuk memproduksi protein (protein expression & purification), mentransfeksi sel (transfection) untuk mempelajari fungsi protein tersebut di dalam sel, dan untuk berbagai aplikasi biologi lainnya.
Karena DNA cloning pada umumnya tidak merugikan makhluk hidup, maka DNA cloning tentunya tidak bertentangan dengan etika Buddhis. DNA cloning merupakan teknik biologi yang digunakan secara luas dan bebas di laboratorium-laboratorium biologi di seluruh dunia.
2. Therapeutic cloning, adalah proses cloning jaringan (tissue) maupun organ, di mana hasil clone tissue/organ tersebut hanya akan digunakan untuk keperluan terapi medik. Therapeutic cloning diawali dengan proses somatic cell nuclear transfer (SCNT), di mana nucleus (inti sel) dari ovum (sel telur) diganti dengan nucleus dari sel somatik yang akan di-clone (induk). Sel somatik mencakup sel-sel tubuh kecuali sel reproduktif (sperma dan ovum). Biasanya therapeutic cloning ini sering digunakan untuk pasien yang mengalami gagal ginjal, jantung dan organ penting lainnya.
Walau belum terdapat kesepakatan antara para ilmuwan biologi dan kaum terpelajar Buddhis lainnya tentang therapeutic cloning ini, akan tetapi jelas bahwa dalam Buddhisme sel-sel tubuh kita tak dianggap sebagai makhluk hidup, karena dalam ajaran Buddha, yang dikatakan makhluk hidup terdiri dari unsur nama (batiniah) dan rupa (fisik).
3. Reproductive cloning, adalah proses membuat organisme baru (clone) di mana DNA clone tersebut memiliki identitas yang sama dengan DNA induknya. Proses yang digunakan dalam reproductive cloning adalah sama dengan proses therapeutic cloning, akan tetapi embrio yang terbentuk tersebut dibiarkan berkembang di dalam rahim (surrogate mother). Biasanya cloning ini dilakukan untuk mendapatkan ras unggul di dalam industri peternakan. Ajaran Buddha menjelaskan bahwa terbentuknya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin. Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimbal lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimbal lahir ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pâli: paticcasamupâda), yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Oleh karena itu, maka konsep cloning ini tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha dalam aspek filsafat, akan tetapi dalam aspek pragmatic (praktisnya), reproductive cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis.

Tumimbal Lahir
Keinginan tak terpuaskan akan keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab tumimbal lahir. Doktrin tumimbal lahir tidak hanya semata-mata teori, tetapi sebagai kenyataan yang dapat dibuktikan. Kepercayaan akan kebenaran tumimbal lahir membentuk suatu prinsip fundamental ajaran Buddha. Akan adanya tumimbal lahir atau secara umum diartikan sebagai kelahiran yang berulang-ulang, hal ini benar-benar dapat dibuktikan melalui hipnosis. Sebagai contoh pada buku “ The Many Lives of Alan Lee “. Buku ini merupakan riset yang membuktikan bahwa kehidupan lampau benar-benar ada. Riset ini dilakukan oleh Ormond McGill bersama Irvin Mordes, spesialis di bidang hipnoterapi kehidupan lampau ( Past Life Hynotherapy ). Riset ini dilakukan di Maryland Psychiatric Center pada tahun 1974. Buku ini berisikan tentang 16 kehidupan lampau dari Alan Lee. Saat diregresi ke kehidupan lampaunya dalam kondisi hipnosis, subjek mampu menulis dan berbicara dengan sangat fasih sesuai dengan bahasa pada kehidupan lampaunya, dan bukti-bukti autentik telah di validasi oleh tim riset.

D. Penutup
Uraian yang dikemukakan di atas hanya merupakan sebagian kecil tentang filosofi ajaran Buddha. Ajaran Buddha adalah ajaran yang universal, dapat dipelajari oleh setiap orang tanpa memandang ras, agama, suku dan sebagainya. Setiap ajaran Buddha dapat diterapkan di mana saja, baik dalam ruang lingkup kecil, misalnya rumah tangga, sampai dengan ruang lingkup yang besar, misalnya pemerintahan. Ajaran Buddha juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengembangkan ilmu pengetahuan misalnya sains. Ajaran Buddha adalah ajaran tentang kebenaran (Dhamma) atau dengan bahasa umum adalah ajaran tentang hukum alam.
Sebagai suatu ajaran moral, ajaran Buddha melebihi semua sistem etika yang lain, tetapi moralitas hanya merupakan permulaan atau modal dasar untuk mencapai tataran yang lebih tinggi atau kesucian sempurna (pencerahan). Hiri dan ottappa merupakan suatu konsep yang sangat baik sekali untuk diterapkan di dalam beretika, sehingga moral setiap individu akan dapat dikontrol dengan memiliki rasa malu berbuat kejahatan dan rasa takut menerima hasil dari kejahatan yang dilakukan atau mendapat konsekwensi hukum. Atas dasar ini saya berpendapat bahwa kesadaran seorang individu itu sangat penting sekali. Kesadaran merupakan hal utama dalam melakukan segala perbuatan (tindakan). Dengan adanya kesadaran, jika perbuatan tersebut bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan, maka lakukan perbuatan tersebut, tetapi jika sebaliknya maka hentikan. Sehingga dari kesadaran ini muncul kebenaran. Saya menyimpulkan bahwa kesadaran itu adalah kebenaran.
Dalam satu sisi ajaran Buddha bukan suatu filsafat, dalam sisi yang lain, ajaran Buddha adalah filsfat dari filsafat.
Dalam satu sisi ajaran Buddha bukan suatu agama, dalam sistem yang lain, ajaran Buddha adalah agama dari agama.


Sumber Acuan :
- Dhammananda, Sri, 2005, Keyakinan Umat Buddha, Jakarta, Yayasan Penerbit Karaniya.
- Dhammavisarada, Pandita Drs., Teja S.M. Rashid, 1997, Sila dan Vinaya, Jakarta, Penerbit Buddhis Bodhi.
- McGill, Ormond with Irvin Mordens, The Many Lives Of Alan Lee, Hasil Riset Yang Membuktikan Kehidupan Lampu Benar-Benar Ada.
- N. Andromeda, Phd., 2009, Kisah Sebuah Rakit Tua, Edisi ke-2, Medan, Patria Sumut.
- Taniputera, Ivan Dipl.Ing., 2003, Sains Modern Dan Buddhisme, Jakarta, Yayasan Penerbit Karanya.
- Ven.Narada, Mahatera, 1998, Sang Buddha dan Ajaran-Ajaranya, Bagian 2, Jakarta, Yayasan Dhammadipa Arama.

Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Dalam menjalankan tugasnya, secara ideal guru merupakan agen pembaharuan. Sebagai agen pembaharuan, guru diharapkan selalu melakukan langkah-langkah inovatif berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukannya. Langkah inovatif sebagai bentuk perubahan paradigma guru tersebut dapat dilihat dari pemahaman dan penerapan guru tentang Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK sangat mendukung program peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang muaranya adalah peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini, karena dalam proses pembelajaran, guru adalah praktisi dan teoretisi yang sangat menentukan. Peningkatan kualitas pembelajaran, merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) yang semakin pesat. Perkembangan Ipteks mengisyaratkan penyesuaian dan peningkatan proses pembelajaran secara berkesinambungan, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan kualitas lulusan dan keberadaan sekolah tempat guru itu mengajar.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. apa yang dimaksud dengan Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ) ?
2. bagaimana pentingnya PTK ?
3. apa karakteristik PTK ?
4. apa prinsip PTK ?
5. apa tujuan PTK ?
6. apa manfaat PTK ?
7. bagaimana prosedur PTK ?
8. bagaimana model PTK ?

3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada makalah ini adalah tentang Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ).

4. Tujuan dan Manfaat
4.1. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan pada makalah ini adalah :
1. untuk mengetahui pengertian Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )
2. untuk mengetahui pentingnya PTK
3. untuk mengetahui karakteristik PTK
4. untuk mengetahui prinsip PTK
5. untuk mengetahui tujuan PTK
6. untuk mengetahui manfaat PTK
7. untuk mengetahui prosedur PTK
8. untuk mengetahui model PTK

4.2. Manfaat
Adapun manfaat dari pembahasan pada makalah ini adalah :
1. menambah wawasan pembaca tentang Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )
2. sebagai bahan masukan bagi para guru yang akan melakukan PTK




BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas ( PTK )
Penelitian tindakan telah mulai berkembang sejak perang dunia kedua, saat ini PTK sedang berkembang dengan pesatnya di Negara-negara maju. Para ahli penelitian pendidikan akhir-akhir ini menaruh perhatian yang cukup besar terhadap PTK. Oleh sebab itu, terdapat banyak pengertian tentang PTK. Istilah PTK dideferensiasi dari pengertian-pengertian sebagai berikut :
Kemmis (1992): Action research as a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice of (a) their on social or educational practices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are carried out.
McNeiff (2002): action research is a term which refer to a practical way of looking at your own work to sheck that it is you would like it to be. Because action research is done by you, the practitioner, it is often referred to as practitioner based research; and because it involves you thinking about and reflecting on your work, it can also be called a form of self-reflective practice.
Berdasarkan penjelasan Kemmis dan McNeiff tersebut, dapat dicermati pengertian PTK secara lebih rinci dan lengkap. PTK didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas sehari-hari, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari empat tahapan, planing, action, observation/evaluation, dan reflection.

2. Pentingnya Penelitian Tindakan Kelas
Peningkatan kompetensi guru merupakan tanggung jawab moral bagi para guru di sekolah. Peningkatan kompetensi guru mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Upaya peningkatan keempat kompetensi merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru. Peningkatan profesionalisme dapat dicapai oleh guru dengan cara melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) secara berkesinambungan. Praktik pembelajaran melalui PTK dapat meningkatkan profesionalisme guru. Hal ini, karena PTK dapat membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan hasil belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru.
Kurt Lewin (dalam Prendergast, 2002:2) secara tegas menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas merupakan cara guru untuk mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan pengalamannya sendiri atau pengalamannya berkolaborasi dengan guru lain. Sementara itu, Calhoun dan Glanz (dalam Prendergast, 2002:2) menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu metode untuk memberdayakan guru yang mampu mendukung kinerja kreatif sekolah. Di samping itu, Prendergast (2002:3) juga menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas merupakan wahana bagi guru untuk melakukan refleksi dan tindakan secara sistematis dalam pengajarannya untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Cole dan Knowles (Prendergast (2002:3-4) menyatakan bahwa, penelitian tindakan kelas dapat mengarahkan para guru untuk melakukan kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu dengan yang lain dengan tujuan tidak hanya tentang program dan metode mengajar, tetapi juga membantu para guru mengembangkan hubungan-hubungan personal. Pernyataan Knowles tersebut juga didukung oleh Noffke (Prendergast (2002:5), bahwa penelitian tindakan kelas dapat mendorong para guru melakukan refleksi terhadap praktek pembelajarannya untuk membangun pemahaman mendalam dan mengembangkan hubungan-hubungan personal dan sosial antar guru. Whitehead (1993) menyatakan, bahwa penelitian tindakan kelas dapat memfasilitasi guru untuk mengembangkan pemahaman tentang pedagogi dalam rangka memperbaiki pemberlajarannya.
Penjelasan-penjelasan teoretis tersebut mengindikasikan, bahwa pemahaman dan penerapan PTK akan membantu guru untuk mengembangkan keempat kompetensi. PTK akan memfasilitasi guru untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi profesional, pedagogi, kepribadian, dan sosial. Agar PTK tidak lepas dari tujuan perbaikan diri sendiri, maka sebelum seorang guru atau para guru memulai merancang dan melaksanakan PTK, perlu memperhatikan hal-hal berikut :
a. PTK adalah alat untuk memperbaiki atau menyempurnakan mutu pelaksanaan tugas sehari-hari (mengajar yang mendidik), oleh karena itu hendaknya sedapat mungkin memilih metode atau model pembelajaran yang sesuai yang secara praktis tidak mengganggu atau menghambat komitmen tugasnya sehari-hari.
b. Teknik pengumpulan data jangan sampai banyak menyita waktu, sehingga tugas utama guru tidak terbengkalai.
c. Metodologi penelitian hendaknya memberi kesempatan kepada guru untuk merumuskan hipotesis yang kuat, dan menentukan strategi yang cocok dengan suasana dan keadaan kelas tempatnya mengajar.
d. Masalah yang diangkat hendaknya merupakan masalah yang dirasakan dan diangkat dari wilayah tugasnya sendiri serta benar-benar merupakan masalah yang dapat dipecahkan melalui PTK oleh guru itu sendiri.
e. Sejauh mungkin, PTK dikembangkan ke arah meliputi ruang lingkup sekolah.

3. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Karakteristik PTK yang dapat membedakannya dengan penelitian formal adalah sebagai berikut :
a. PTK merupakan prosedur penelitian di kelas yang dirancang untuk menanggulangi masalah nyata yang dialami guru berkaitan dengan siswa di kelas itu.
b. Metode PTK diterapkan secara kontekstual, dalam arti bahwa variabel-variabel yang ditelaah selalu berkaitan dengan keadaan kelas itu sendiri.
c. PTK terarah pada suatu perbaikan atau peningkatan kualitas pembelajaran, dalam arti bahwa hasil atau temuan PTK itu adalah pada diri Guru telah terjadi perubahan, perbaikan, atau peningkatan sikap dan perbuatannya.
d. PTK bersifat luwes dan mudah diadaptasi.
e. PTK banyak mengandalkan data yang diperoleh langsung atas refleksi diri peneliti.
f. PTK sedikitnya ada kesamaan dengan penelitian eksperimen dalam hal percobaan tindakan yang segera dilakukan dan ditelaah kembali efektivitasnya.
g. PTK bersifat situasional dan spesisifik, yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk studi kasus.
Perbandingan Penelitian Formal dengan PTK
Penelitian Formal
1. Dilakukan oleh orang lain
2. Sampel harus representatif
3. Instrumen harus valid dan reliabel
4. menggunakan analisis statistik
5. Menggunakan hipotesis
6. Mengembangkan teori

Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
1. Dilakukan sendiri oleh guru
2. Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan
3. Validitas dan reliabilitas instrumen tidak diperhatikan
4. Tidak diperlukan analisis statistik yang rumit
5. Tidak selalu menggunakan hipotesis
6. Memperbaiki pembelajaran

4. Prinsip Penelitian Tindakan Kelas
Terdapat 6 prinsip penelitian tindakan kelas menurut Hopkins. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sebagai seorang guru yang pekerjaan utamanya adalah mengajar, seyogyanya PTK yang dilakukan tidak mengganggu komitmennya sebagai pengajar.
2. Teknik pengumpulan data tidak menuntut waktu dan cara yang berlebihan.
3. Metodologi yang digunakan hendaknya dapat dipertanggung jawabkan reliabilitasnya yang memungkinkan guru dapat mengidentifikasi dan merumuskan hipotesis secara meyakinkan, mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelas, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesis tindakannya.
4. Masalah yang terungkap adalah masalah yang benar-benar membuat guru galau, sehingga atas dasar tanggung jawab profesional, dia didorong oleh hatinya untuk memiliki komitmen dalam rangka menemukan jalan keluarnya melalui PTK.
5. Pelaksanaan PTK seyogyanya mengindahkan tata krama kehidupan berorganisasi.
6. Permasalahan yang hendaknya dicarikan solusinya lewat PTK hendaknya tidak terbatas hanya pada konteks kelas atau mata pelajaran tertentu, tetapi tetap mempertimbangkan perspektif sekolah secara keseluruhan.

5. Tujuan Penelitian Tindakan Kelas
Tujuan PTK dapat digolongkan atas dua jenis, tujuan utama dan tujuan sertaan. Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tujuan utama pertama, melakukan perbaikan dan peningkatan layanan profesional guru dalam menangani proses pembelajaran. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan melakukan refleksi untuk mendiagnosis kondisi, kemudian mencoba secara sistematis berbagai model pembelajaran alternatif yang diyakini secara teoretis dan praktis dapat memecahkan masalah pembelajaran. Dengan kata lain, guru melakukan perencanaan, melaksanakan tindakan, melakukan evaluasi, dan refleksi.
2. Tujuan utama kedua, melakukan pengembangan keteranpilan guru yang bertolak dari kebutuhan untuk menanggulangi berbagai persoalan aktual yang dihadapinya terkait dengan pembelajaran. Tujuan ini dilandasi oleh tiga hal penting, (1) kebutuhan pelaksanaan tumbuh dari guru sendiri, bukan karena ditugaskan oleh kepala sekolah, (2) proses latihan terjadi secara hand-on dan mind-on, tidak dalam situasi artifisial, (3) produknya adalah sebuah nilai, karena keilmiahan segi pelaksanaan akan didukung oleh lingkungan.
3. Tujuan sertaan, menumbuh kembangkan budaya meneliti di kalangan guru.

6. Manfaat Penelitian Tindakan Kelas
PTK dapat memberikan manfaat sebagai inovasi pendidikan yang tumbuh dari bawah, karena guru adalah ujung tombak pelaksana lapangan. Dengan PTK guru menjadi lebih mandiri yang ditopang oleh rasa percaya diri, sehingga secara keilmuan menjadi lebih berani mengambil prakarsa yang patut diduganya dapat memberikan manfaat perbaikan. Rasa percaya diri tersebut tumbuh sebagai akibat guru semakin banyak mengembangkan sendiri pengetahuannya berdasarkan pengalaman praktis. Dengan secara kontinu melakukan PTK, guru sebagai pekerja profesional tidak akan cepat berpuas diri lalu diam
di zone nyaman, melainkan selalu memiliki komitmen untuk meraih hari esok lebih baik dari hari sekarang. Dorongan ini muncul dari rasa kepedulian untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kesehariannya.
Manfaat lainnya, bahwa hasil PTK dapat dijadikan sumber masukan dalam rangka melakukan pengembangan kurikulum. Proses pengembangan kurikulum tidak bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh gagasan-gagasan yang saling terkait mengenai hakikat pendidikan, pengetahuan, dan pembelajaran yang dihayati oleh guru di lapangan. PTK dapat membantu guru untuk lebih memahami hakikat pendidikan secara empirik.

7. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas
PTK merupakan proses pengkajian suatu masalah pada suatu kelas melalui sistem daur ulang dari berbagai kegiatan. Daur tersebut dapat dilaksanakan bertolak dari hasil refleksi diri tentang adanya unsur ketidakpuasan diri sendiri terhadap kinerja yang dilakukan dan yang dilalui sebelumnya. Misalnya, guru sadar bahwa hasil belajar siswa pada bidang studi yang diasuh selalu terpuruk. guru saat itu berpikir tentang strategi pembelajaran yang diterapkan selama ini, fasilitas yang mendukung pelajaran, lalu mencari kelemahan-kelemahan kinerja yang telah dilakukan yang diduga sebagai penyebab terpuruknya hasil belajar siswa. Untuk merencanakan tindakan perbaikan, ada beberapa pertanyaan yang dapat membantu guru, sebagai berikut. (1) Apa kepedulian anda terhadap kelas itu? (2) Mengapa anda peduli terhadap hal tersebut? (3) Apa yang menurut pendapat anda, anda dapat lakukan berkenan dengan hal itu? (4) Bukti-bukti yang bagaimana yang dapat anda kumpulkan untuk membantu menelaah apa yang terjadi? (5) Bagaimana anda akan mengumpulkan bukti-bukti itu? (6) Bagaimana anda akan memeriksa bahwa pertimbangan anda mengenai apa yang terjadi itu cukup tepat dan cermat?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu akan menghasilkan penilaian praktis tentang situasi yang dihadapi dan menghasilkan pula rencana yang mungkin digunakan untuk menangani situasi itu. Dalam hal seperti itu, daur ulang yang serupa dengan yang dikemukakan tersebut terjadi pula, yaitu dengan terjadinya apa yang dirasakan guru.

8. Model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa PTK yang sering digunakan sampai pada saat ini di dalam dunia pendidikan yaitu :
a. Model Kemmis, model ini dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc.Taggart tahun 1988. mereka menggunakan empat komponen penelitian tindakan (perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi) dalam suatu system spiral yang saling terkait.
b. Model Ebbut, model ini terdiri dari tiga tingkatan atau daur. Pada tingkat pertama, ide awal dikembangkan menjadi langkah tindakan pertama, kemudian tindakan pertama tersebut dimonitor implementasi pengaruhnya terhadap subjek yang diteliti. Semua akibatnya dicatat secara sistematis termasuk keberhasilan dan kegagalan yang terjadi. Catatan monitoring tersebut digunakan sebagai bahan revisi rencana umum tahap kedua. Pada tingkat kedua ini, rencana umum hasil revisi dibuat langkah tindakannya, dilaksanakan, monitoring efek tindakan yang terjadi pada subjek yang diteliti, dokumentasikan efek tindakan tersebut secara detail dan digunakan sebagai bahan untuk masuk ke tingkat tiga. Pada tingkatan ini, tindakan seperti yang dilakukan pada tingkat sebelumnya, dilakukan, didokumentasikan efek tindakan, kemudian kembali ketujuan umum penelitian tindakan untuk mengetahui apakah permasalahan yang telah dirumuskan dapat terpecahkan.
c. Model Elliot, model ini dikembangkan oleh dua orang sahabat, yaitu Elliot dan Edelman. Mereka mengembangkan dari model Kemmis dibuat dengan lebih rinci pada setiap tingkatannya, agar lebih memudahkan dalam tindakannya. Proses yang telah dilaksanakan dalam semua tingkatan tersebut digunakan untuk menyusun laporan penelitian. Dalam penelitian tindakan model ini, setelah ditemukan ide dan permasalahan yang menyangkut dengan peningkatan praktis maka dilakukan tahapan reconnaissance atau peninjauan lapangan. Tujuan peninjauan adalah untuk melakukan semacam studi kelayakan untuk mensinkronkan anatara ide utama dan perencanaan dengan kondisi lapangan, sehingga diperoleh perencanaan yang lebih efektif dan dibutuhkan subjek yang teliti. Setelah diperoleh perencanaan yang baik dan sesuai dengan keadaan lapangan maka tindakan yang terencana dan sistematis dapat diberikan kepada subjek yang diteliti. Pada akhir tindakan, peneliti melakukan kegiatan monitoring terhadap efek tindakan yang mungkin berupa keberhasilan dan hambatan disertai dengan faktor-faktor penyebabnya. Atas dasar hasil monitoring tersebut, peneliti dapat menggunakannya sebagai bahan perbaikan yang dapat diterapkan pada langkah tindakan kedua dan seterusnya sampai diperoleh informasi atau kesimpulan tentang apakah permasalahan yang telah dirumuskan dapat dipecahkan.
d. Model Mckernan, pada model ini, ide umum telah dibuat lebih rinci, yaitu dengan diidentifikasinya permasalahan, pembatasan masalah dan tujuan, penilaian kebutuhan subjek dan dinyatakan hipotesi atau jawaban sementara terhadap masalah di dalam setiap tingkatan atau daur. Perlu diperhatikan pada setiap daur tindakan yang ada selalu dievaluasi guna melihat hasil tindakan, apakah tujuan dan permasalahan penelitian telah dapat dicapai.



BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. PTK didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas sehari-hari, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan.
2. PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari empat tahapan, planing, action, observation/evaluation, dan reflection.
3. Terdapat 6 prinsip PTK menurut Hopkins
4. Tujuan PTK dapat digolongkan atas dua jenis yaitu tujuan utama dan tujuan sertaan
5. PTK dapat memberikan manfaat sebagai inovasi pendidikan, dapat dijadikan sumber masukan dalam rangka melakukan pengembangan krikulum.
6. PTK merupakan proses pengkajian suatu masalah pada suatu kelas melalui system daur ulang

2. Saran
Makalah ini bersifat penjelasan singkat mengenai Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ), maka untuk menambah pengetahuan yang lebih dari PTK sebaiknya melengkapinya dengan berbagai referensi mengenai PTK. Serta kepada para guru disarankan mengadakan PTK khusus di bidangnya masing-masing.



DAFTAR PUSTAKA

1. Emzir, Prof. Dr., M.Pd., 2007, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada
2. Sukardi, Prof. Ph.D., 2003, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta, PT. Bumi Aksara
3. http://karwono.wordpress.com/2008/02/27/artikel-penelitian-tindakan-kelas-classroom-action-research/
4. Prendergast, M., 2002, Action research: The improvement of student and teacher learning
http://educ.queensu.ca/ar/reports/MP2002.htm

Teori Algo-Heuristic dan Schematic

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Sebenarnya apa arti belajar, sehingga belajar dirasakan penting oleh manusia dalam kehidupannya. Belajar adalah suatu proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, bergerak, dan merasa untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku, pengetahuan dan teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut.
Dalam dunia pendidikan dikenal beberapa jenis teori belajar yang dirancang sebagai model untuk pembelajaran yang berasal dari temuan beberapa ahli psikologi dan pendidikan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang tentang proses belajar, maka teori belajar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yang sering ditetapkan untuk menerangkan proses belajar, yaitu : (1) teori behaviorisme, (2) teori kognitivisme, (3) teori humanistik, dan (4) teori sibernetik. Dalam aplikasi teori-teori belajar tergantung pada beberapa hal seperti sifat materi, karakteristik pebelajar, media belajar dan fasilitas belajar yang tersedia.

2. Batasan Masalah
Dalam mempelajari teori belajar yang akan diaplikasikan di dalam pembelajaran, banyak hal yang perlu di bahas, tetapi pada makalah ini kami akan membatasi pada Teori Algo-Heuristic dari Lev N. Landa (teori sibernetik) dan Teori Schematic dari Jean Piaget (teori kognitivisme).

3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah teori Algo-Heuristic ?
2. Bagaimanakah teori Schematic ?

4. Tujuan dan Manfaat
4.1 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Dapat mengetahui tentang teori Algo-Heuristic
2. Dapat mengetahui tentang teori Schematic.
4.2 Manfaat
Sedangkan manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang teori Algo-heuristic dan teori Schematic yang dapat diaplikasikan pada proses belajar atau pembelajaran.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Algo-Heuristic ( Algorithmico-Heuristic )
Teori Algo-heuristic merupakan salah satu bagian dari teori belajar Sibernetik. Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar daripada hasil belajar, namun dalam teori sibernetik, yang lebih penting adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. Informasi inilah yang akan menentukan proses. Bagaimana proses belajar akan berlangsung, sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari.
Asumsi lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Sebuah informasi akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Salah satu penganut aliran sibernetik adalah Lev N.Landa. Ia membedakan ada dua macam proses berpikir, yaitu proses berpikir algoritmik dan proses berpikir heuristic. Proses berpikir algoritmik yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus menuju satu target tujuan tertentu. Contoh proses algoritmis adalah: kegiatan menelpon, menjalankan mesin mobil, dan lain-lain. Sedangkan cara berpikir heuristic adalah cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target tujuan sekaligus. Memahami suatu konsep yang mengandung arti ganda dan penafsiran biasanya menuntut seseorang untuk menggunakan cara berpikir heuristic. Contoh proses berpikir heuristic adalah: operasi pemilihan atribut geometri, penemuan cara-cara pemecahan masalah, dan lain-lain.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan (dalam istilah teori sibernetik adalah sistem informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur, linier, sekuensial, sedangkan materi pelajaran lainnya akan lebih tepat bila disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Misalnya, agar siswa mampu memahami suatu rumus matematika, akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus tersebut disajikan secara algoritmik. Alasannya, karena suatu rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu. Namun untuk memahami makna suatu konsep yang lebih luas dan banyak mengandung interpretasi, misalnya konsep keadilan atau demokrasi, akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah “menyebar” atau berpikir heuristic, dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatik atau linier.
Landa sangat memberi perhatian pada proses belajar yang berjalan algoritmik. Karena itu ada empat kegiatan pokok dalam proses belajar mengajar menurut teori Landa, yaitu :
1. Identifikasi proses algoritmik yang mendasari suatu pemecahan persoalan (problem solving). Seorang guru misalnya, tahu rumus gravitasi, maka kewajiban dia sebenarnya tidak hanya memberi tahu siswa / pebelajar tentang rumus gravitasi, tetapi yang penting adalah dia harus menemukan cara agar pebelajar tahu bagaimana proses algoritmik yang benar untuk memecahkan suatu soal gravitasi dengan menggunakan rumus gravitasi. Guru tidak hanya sekedar mengatakan : ini ada soal, silakan pecahkan soal ini dengan rumus ini.
2. Mengidentifikasi hal-hal (operasi intelektual) yang tidak dapat dialgoritmikan. Tujuannya jelas, yakni agar guru tidak mencampuradukkan antara proses algoritmik dengan non algoritmik. Mempelajari sesuatu yang banyak mengandung penafsiran ganda seperti belajar melukis, akan tidak sesuai jika digunakan pendekatan algoritmik. Pendekatan heuristik akan lebih toleran terhadap berbagai penyimpangan dan improvisasi, dan tidak menuntut adanya proses berpikir linier seperti halnya berpikir algoritmik.
3. Bagi guru mampu mengajar dengan menggunakan proses algoritmik yang sudah diidentifikasikannya. Artinya guru tidak boleh mengajar dengan cara menyimpang ke sana kemari, tidak sesuai pada proses algoritmik yang seharusnya diikuti. Ini juga guru membutuhkan suatu rencana pembelajaran yang baik untuk setiap mata pelajaran yang diasuhnya.
4. Ini yang paling sulit, yaitu mengajar pebelajar sedemikian rupa agar mereka mampu mengembangkan pola berpikir algoritmik di dalam benak mereka, dengan harapan mereka akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah dibahas dalam pengajaran dengan cara yang sama sistematik dan logisnya. Hal ini bisa tercapai hanya jika guru mampu memberikan contoh konkret kepada pebelajar bagaimana sebenarnya berpikir algoritmik itu.

Menurut Landa ada dua cara mengajar proses algoritmik kepada pebelajar yaitu :
1. cara langsung menunjukkan proses algoritmik itu sendiri
2. dengan mengatur proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga pebelajar mampu menemukan proses algoritmik tersebut secara mandiri dengan cara mereka sendiri.

B. Teori Schematic
Jean Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schematic), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.
Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan
- Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan, minum.
- Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati
Jika schemas / skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan ekuilibrium (equilibrium), namu ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi disekuilibrium (disequilibrium) yaitu kondisi yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun bisa terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya : seringkali orang menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama.
Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran dan tingkat intelegensi anak itu.
Menurut Piaget, intelegensi terdiri dari tiga aspek yaitu : (1) struktur, disebut juga scheme, (2) isi, disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik ketika individu menghadapi suatu masalah, (3) fungsi yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual.
Fungsi ini terdiri dari dua macam yaitu (1) organisasi, berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheran, (2) adaptasi, penyesuaian dari individu terhadap lingkungannya.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Asimilasi
Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.
2. Akomodasi
Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap stimuli lingkungan.
Dalam struktur kognitif setiap individu harus ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya.
Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium-disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :
a. tahap Sensori Motor : 0 – 2 tahun
b. tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun
c. tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun
d. tahap Operasi Formal : 11 tahun keatas
Sebaran umur pada seiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.
a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dan lain-lain.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.
b. Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dan lain-lain. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.
c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objek. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi peranyaan, “Rambut Edith lebih terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-anak pada tahap operasional konkret mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.
Sebagai contoh eksperimen Piaget berikut ini :
Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “pak Pendek” dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api.
Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi.
Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya.
Kesimpulan pada tahap ini adalah :
Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan secara singkat tentang teori Algo-Heuristik dan Schematic, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Teori Algo-Heuristik adalah menemukan sendiri cara penyelesaian dalam suatu masalah dengan prosedural artinya diarahkan oleh guru dalam pemecahan suatu masalah.
2. Dua macam proses berpikir menurut Landa : (1) algoritmik, (2) heuristik
3. Empat kegiatan pokok dalam proses belajar mengajar menurut Landa : (1) identifikasi proses algoritmik, (2) mengidentifikasi hal-hal yang dapat dialgoritmakan, (3) guru mampu mengajar dengan proses algoritnmik, (4) guru mengajar pebelajar sedemikian rupa agar mampu mengembangkan pola pikir algoritmik
4. Menurut Landa ada dua cara mengajar proses algoritmik kepada pebelajar yaitu : (1) cara langsung menunjukkan proses algoritmik, (2) dengan mengatur proses pembelajaran sedemikian rupa
5. Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (Schematic), yaitu kumpulan dari skema-skema.
6. Empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis : (1) tahap Sensori Motor, (2) tahap Pra Operasi, (3) tahap Operasi Konkrit, (4) tahap Operasi Formal

B. Saran
Dengan mengetahui secara singkat tentang teori Algo-Heuristik dan Schematic, maka diharapkan pendidik dapat mengembangkan proses belajar dan mengajar di satuan pendidikan, memperhatikan proses pembelajaran yang terjadi. Dan untuk menambah wawasan yang lebih luas lagi, sebaiknya kita melengkapi dengan berbagai referensi lain.



DAFTAR PUSTAKA

1. Hamid, Prof.Dr.Abdul K,.M.Pd., 2009, Teori Belajar dan Pembelajaran (edisi kedua), Medan, FR. Dongoran.
2. Reigeluth, Charles M., 1983, Instructional Design Theories And Models : An Overview of Their Current Status, New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
3. http://khemakalyani.blogspot.com/2008/11/teori-algo-heuristic-lev-n-landa.hml
4. http://valmband.multiply.com/journal/item/12
5. http://www.dwiwahyuningsih.co.cc

Peranan Matematika dan Statistika Dalam Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam abad ke 20 ini, seluruh kehidupan manusia sudah mempergunakan matematika, baik matematika ini sangat sederhana hanya untuk menghitung satu, dua, tiga maupun yang sampai sangat rumit, misalnya perhitungan antariksa. Demikian pula ilmu-ilmu pengetahuan, semuanya sudah mempergunakan matematika, baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistik. Philosophy modern juga tidak akan tepat bila pengetahuan tentang matematika tidak mencukupi. Banyak sekali ilmu-ilmu sosial sudah mempergunakan matematika sebagai sosiometri, psychometri, econometri dan seterusnya. Hampir dapat dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia. Sekitar 3500 tahun S.M. bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol yang melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama, yang melakukan pengukuran pasang surutnya sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir, seperti apa yang sekarang kita lakukan di abad ke 20 ini. Bedanya adalah bahwa pengetahuan tentang matematika pada waktu itu dianggap keramat. Para pendeta sengaja menyembunyikan pengetahuan tentang matematika untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan usaha tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar. Sementara statistika yang relatif muda dibandingkan dengan matematika, berkembang dengan sangat cepat terutama dalam dasawarsa lima puluh tahun belakangan ini. Penelitian ilmiah, baik yang berupa survei maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan.

2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami bahas dalam makalah ini adalah :
1.Matematika sebagai Bahasa
2.Sifat Kuantitatif dari Matematika
3.Matematika : Sarana Berpikir Deduktif
4.Perkembangan Matematika
5.Statistika dan Cara Berpikir Induktif

3.Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah kita dapat mengetahui peranan matematika dan statistika dalam ilmu

4.Manfaat Pembahasan
Manfaat dari pembahasan makalah ini adalah kita dapat memahami peranan matematika dan statistika dalam ilmu.



BAB II
PEMBAHASAN

1.Matematika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematikan bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Bahasa verbal seperti yang telah kita bahas sebelumnya mempunyai beberapa kekurangan.
Untuk mengatasi kekurangan ini maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita uji. Sebuah objek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja yang sesuai dengan perjanjian kita. Sebagai contoh ketika kita mempelajari kecepatan seseorang, maka isinilah fungsi matematika sebagai lambang yang mempunyai arti yang jelas tanpa menimbulkan sifat majemuk, kecepatan kita lambangkan ”x”. Jika kita hubungkan dengan ojek yang lain misalnya jarak yang kita lambangkan ”y”. Maka kita dapat melambangkan hubungan tersebut sebagai z = y/x , dimana z melambangkan waktu. Pernyataan tersebut kiranya jelas tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. Maka pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.

2.Sifat Kuantitatif dari Matematika
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran yang kuantitatif. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua objek yang berlainan, umpamanya gajah dan semut, maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut. Jika kita ingin menelusuri lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut, maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan tersebut. Kemudian jika kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa verbal kita tidak dapat mengatakan apa-apa. Kita bisa mengetahu bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang namun kita tidak bisa mengatakan dengan tepat berapa besar pertambahan panjangnya.
Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Untuk mengatasi masalah matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam itu dipanaskan.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif.perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari ilmu.

3.Matematika : Sarana Berpikir Deduktif
Kita semua kiranya telah mengenal bahwa jumlah sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat. Pengetahuan ini mungkin saja kita dapat dengan jalan mengukur sudut-sudut dalam sebuah segitiga dan menjumlahkannya. Dipihak lain, pengetahuan ini bisa didapatkan secara deduktif dengan mempergunakan matematika. Seperti diketahui berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga tersebut, kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Kedua premis itu kemudian kita terapkan dalam berpikir deduktif untuk menghitung jumlah sudut-sudut dalam sebuah segitiga. Dalam hal ini kita melihat bahwa dalam segitiga ABC kalau kita tarik garis p melalui titik A yang sejajar dengan BC maka pada titik A dapat didapatkan tiga sudut yakni α1, α2, α3, yang ketiga-tiganya membentuk suatu garis lurus. Mempergunakan premis yangg pertama maka kita bisa mengambil kesimpulan : (1) α3 = β1 ; (2) α2 = γ1 ; (3) δ = α1+ β1+ γ1 ; dari persamaan (1) dan (2) maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai δ = α1 + α2 + α3 dimana δ membentuk sebuah garis lurus. Dengan demikian maka secara deduktif dapat dibuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat.

4.Perkembangan Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu :
a.Sistematika
Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan objek empiris kedalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik.
b.Komparatif
Pada tahap komparatif kita mulai melakukan perbandingan antara objek yang satu dengan objek yang lain, kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara di berbagai objek yang kita kaji.
c.Kuantitatif
Pada tahap kuantitatif kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari objek yang sedang kita selidiki.
Bahasa verbal berfungsi dengan baik pada tahap pertama dan kedua, tetapi pada tahap ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran. Di samping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu.
Griffits dan Howson ( 1974 ) membagi sejarah perkembangan matematika menjadi 4 tahap yaitu :
-Tahap pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban Mesir kuno. Pada saat itu matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti banjir.
-Tahap kedua yaitu pada peradaban di Mesopotamia dan Babylonia, dimana mengembangkan kegunaan praktis dari matematika.
-Tahap ketiga yaitu pada peradaban Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika. Pada peradaban inilah diletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan berbagai langkah dan definisi tertentu.
-Tahap selanjutnya terjadi di Timur dimana pada sekitar tahun 1000 bangsa Arab, India dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar tersebut.

5.Statistika dan Cara Berpikir Induktif
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau kita telaah lebih dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau disahkan kebenarnnya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak.
Pengujian mengharuskan kita menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar jika premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Yang dapat kita katakan adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang dengan eksak.


BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :
Matematika sebagai Bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal
Sifat Kuantitatif dari Matematika
Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran yang kuantitatif
Matematika : Sarana Berpikir Deduktif, pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan
Perkembangan Matematika, tiga tahap perkembangan ilmu yaitu sistematika, komperatif, kuantitatif; empat tahap perkembangan matematika.
Statistika dan Cara Berpikir Induktif, merupakan sarana berpikir untuk memproses pengetahuan secara ilmiah dan membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti.

2.Saran
Agar penulisan makalah ini kiranya dapat diperjelas analisisnya oleh dosen mata kuliah Filsafat Ilmu, sehingga mahasiswa dapat lebih memahami peranan Matematika dan Statistika Dalam Ilmu.



DAFTAR PUSTAKA

1.Hasan Bakti Nasution, 2001, Filsafat Umum, Jakarta, Gaya Media Pratama
2.Junus, H. Ismet, LMP, SDE, Pengantar Filsafat
3.Sudarsono, Drs., S.H., M.Si.,2001, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta
4.Suriasumantri, Jujun S., 2005, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
5.Tafsir, Prof. Dr. Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Bandung

Teknologi Pendidikan Sebagai Konstruk Teoritik, Bidang Garapan Dan Profesi

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Teknologi merupakan merupakan bagian integral dalam setiap budaya. Makin maju suatu budaya, makin banyak dan makin canggih teknologi yang digunakan. Meskipun demikian masih banyak di antara kita yang tidak menyadari akan hal itu. Teknologi diterapkan di semua bidang kehidupan, di antaranya bidang pendidikan. Teknologi pendidikan ini karenanya beroperasi dalam seluruh bidang pendidikan secara integratif, yaitu secara rasional berkembang dan terjalin dalam berbagai bidang pendidikan.
Teknologi pendidikan adalah sebuah konsep yang sangat kompleks dan memiliki definisi yang kompleks pula. Bilamana kita berfikir tentang Teknologi Pendidikan, kita dapat memikirkannya dalam tiga cara yaitu sebagai konstruksi teoritik, sebagai bidang garapan dan sebagai profesi. Agar kita dapat mendefinisikan sebagai tiga cara tersebut maka kita hendaknya terlebih dahulu menganalisis masing-masing cara tersebut sehingga kita dapat secara benar mendefinisikan Teknologi Pendidikan sesuai dengan cara yang seharusnya. Ketiga cara tersebut adalah :
1. sebagai konstruk teoritik (theoretical construct)
Sebuah abstraksi yang mencakup serangkaian ide dan prinsip tentang cara bagaimana pendidikan dan pembelajaran harus dilaksanakan dengan menggunakan teknologi
2. sebagai bidang garapan
Aplikasi ide-ide dan prinsip-prinsip teoritik untuk memecahkan masalah-masalah konkret dalam bidang pendidikan dan pembelajaran. Bidang tersebut meliputi teknik-teknik yang digunakan, aktivitas yang dikerjakan, informasi dan sumber yang digunakan, dan klien yang dilayani oleh para pelaksana dalam bidang tersebut
3. sebagai profesi
Suatu kelompok pelaksana tertentu yang diorganisasikan memenuhi criteria tertentu, memiliki tugas-tugas tertentu dan bergabung untuk membentuk bagian tertentu dari bidang tersebut
Tidak satu pun dari tiga perspektif tersebut yang lebih betul atau lebih baik, masing-masing merupakan cara yang berbeda dalam memandang hal yang sama.
Oleh karena itu, definisi Teknologi Pendidikan yang disajikan di sini akan mengemukakan pengertian Teknologi Pendidikan dari ketiga perspektif tersebut secara keseluruhan. Teknologi Pendidikan akan didefinisikan sebagai konstruk teoritik – menunjukkan ide dan prinsip-prinsip serta bagaimana kesemuanya disintesiskan menjadi satu kebulatan yang menyeluruh, sebagai bidang garapan – menunjukkan aplikasi dan implikasi dalam praktek kehidupan sehari-hari; dan sebagai profesi – identifikasi kriteria yang harus dipenuhi oleh kelompok yang khusus bergerak di bidang ini.

2. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah Teknologi Pendidikan Sebagai Konstruk Teoritik, Bidang Garapan Dan Profesi, sesuai dengan latar belakang permasalahan.

3. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan teknologi pendidikan sebagai konstruk teoritik, bidang garapan dan profesi.
Sedangkan manfaat pembahasan dari makalah ini adalah agar dapat dijadikan sebagai acuan dalam melaksanakan proses pembelajaran yang lebih efisien dan efektif.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Teknologi Pendidikan Sebagai Konstruk Teoritik
Untuk mendefinisikan Teknologi Pendidikan sebagai konstruksi teoritik hanya diperlukan karakteristik pertama di atas; suatu kesatuan teori intelektual yang selalu dikembangkan melalui kegiatan penelitian.
Istilah teori yang dalam pembicaraan sehari-hari sering digunakan sebagai lawan kata praktek, yang mempunyai arti yang jelas yaitu : suatu prinsip umum yang didukung oleh data sebagai penjelasan terhadap sekelompok gejala atau suatu pernyataan tentang hubungan yang berlaku terhadap sejumlah fakta, suatu prinsip atau serangkaian prinsip yang menerangkan hubungan antara berbagai fakta dan meramalkan hasil baru berdasarkan fakta tersebut.
Teknologi Pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana dan organisasi untuk menganalisis masalah dan merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar manusia.
Karakteristik teori dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
a. Adanya suatu gejala – harus masih ada beberapa gejala yang belum difahami sejelas-jelasnya menurut pengetahuan yang ada sekarang;
b. Menjelaskan – sebuah teori memberikan penjelasan tentang mengapa atau bagaimana gejala itu terjadi (sebagai kebalikan dari penegasan sederhana terhadap eksistensi suatu gejala);
c. Merangkum – sebuah teori memberikan rangkuman tentang apa yang telah diketahui tentang hubungan antara sejumlah besar informasi empiric, konsep dan generalisasi;
d. Memberikan orientasi – menentukan dan mempertajam fakta-fakta yang akan diteliti (dipelajari) serta membedakan antara data yang relevan dengan data yang tidak relevan;
e. Mensistematiskan – memberikan skema unutuk mensistematiskan, mengklasifikasikan dan menghubungkan segala gejala, postulat dan dalil yang serasi;
f. Mengidentifikasi kesenjangan – mencari bidang-bidang yang relevan namun diabaikan atau belum dipecahkan pada masa kini maupun buat studi di masa mendatang;
g. Melahirkan strategi untuk keperluan riset – memberikan dasar untuk merumuskan hipotesis baru dan melaksanakan riset lebih mendalam berdasar atas penjelasan tersebut;
h. Prediksi – dapat mengungkap hal-hal melebihi dari apa yang bisa diketahui berdasar atas data empiric sehingga dapat membuat estimasi dan memprediksi fakta baru dan hipotesis yang belum diketahui pada saat sekarang;
Teknologi pendidikan adalah suatu proses terpadu yang melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, dan organisasi untuk menganalisa masalah-masalah pendidikan dan cara pemecahan, mengimplemintasikan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah yang berkenaan dengan semua aspek belajar manusia. Pemecahan masalah dalam teknologi pendidikan adalah bagaimana sumber belajar itu didesain, dipilih dan digunakan untuk menciptakan kegiatan belajar.
Paradigma baru pada teknologi pendidikan memberikan suatu pendekatan baru dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan, namun demikian pendekatan baru tersebut merupakan penjabaran dan perluasan dari konsep-konsep terdahulu. Dengan demikian secara langsung masih berhubungan dengan definisi dan diskripsi bidang teknologi pendidikan yang dihasilkan sebelumnya.

2. Teknologi Pendidikan Sebagai Bidang Garapan
Teknologi Pendidikan sebagai bidang garapan merupakana aplikasi dari ide dan prinsip teoritik untuk memecahkan masalah kongkrit dalam bidang pendidikan dan pembelajaran ( teknik yang digunakan, aktivitas yang dikerjakan, informasi dan sumber yang digunakan dan klien yang dilayani ). Lingkungan kegiatan yang merangkum komponen konsep, ketrampilan dan prosedur serta memadukannya dalam bentuk aplikasi baru.
Ada tiga persyaratan atau karakteristik tambahan pada bidang garapan yaitu : teknik intelektual, yaitu pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah, aplikasi praktis yaitu usaha untuk merealisasikan atau mengoperasionalkan pikiran, ide dan proses sehingga menghasilkan produk yang dapat dilihat, dan keunikan bidang garapan yaitu harus ada karakteristik khusus yang tidak dijumpai pada bidang lain
Teknik Intelektual, adalah pendekatan yang digunakan oleh seseorang dalam mencari pemecahan masalah. Teknologi pendidikan memiliki satu cara dalam pemecahan masalah. Tiap fungsi pengembangan dan manajemen mempunyai teknik tersendiri yang berkaitan dengannya. Teknik tersendiri dari teknologi pendidikan adalah lebih dari jumlah bagian-bagiannya. Teknik itu melibatkan perpaduan sistematik masing-masing teknologi dari fungsi-fungsi tersebut dan saling keterhubungannya dalam satu proses terpadu dan kompleks untuk mengadakan analisi keseluruhan masalah-masalah dan kemudian menciptakan metode-metode pemecahan baru. Teknologi ini menghasilkan suatu akibat sinergistik, dengan menghasilkan keluaran-keluaran diluar dugaan berbeda jika didasarkan pada unsur-unsur yang bekerja secara terpisah dan sendiri-sendiri. Teknik intelektual yang asli itu merupakan suatu yang khas dari teknologi pendidikan dan tidak ada bidang lain yang mempergunakannya.
Aplikasi praktis, mencakup usaha merealisasikan atau mengoperasionalkan fikiran, ide dan proses. Aplikasi itu menghasilkan produk yang dapat dilihat. Sebagai contoh seorang benar-benar melaksanakan eksperimen ilmiah atau melaksanakan kegiatan pengembangan instruksional sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditentukan dalam mengaplikasikan teknik intelektual. Kecuali itu aplikasi praktis menunjukkan bagaimana teknik intelektual itu dioperasionalkan dalam konteks strutur organisasi dan institusi dimana bidang garapan itu beroperasi.
Keunikan, berhubung definisi tersebut menunjukkan bahwa suatu bidang garapan memadukan teknik intelektual dan aplikasi praktis yang diidentifikasi oleh definisi tersebut haruslah merupakan hal unik bagi bidang garapan tersebut. Haruslah tercermin karakteristik khusus yang tidak bisa dijumpai pada bidang lain. Jika definisi tersebut dapat mewujudkan adanya teknik intelektual dan aplikasi praktis yang unik, maka bidang garapan yang diidentifikasikan tersebut dengan sendirinya dapat dikatakan unik pula.
Jadi, definisi teknologi pendidikan sebagai bidang garapan, pertama-tama harus mendefinisikannya sebagai konstruk teoritik, kemudian mengidentifikasi teknik intelektual dan aplikasi praktis, serta kesemuanya menunjukkan keunikan bidang garapan teknologi pendidikan.

3. Teknologi Pendidikan Sebagai Profesi
Untuk mendefinisikan teknologi pendidikan sebagai profesi, terlebih dulu harus dipenuhi syarat-syarat untuk mendefinisikan bangunan teoritik dan bidang garapan. Selanjutnya definisi tersebut harus mencerminkan semua karakteristik profesi lainnya.
Latihan dan Sertifikasi. Latihan dalam waktu yang lama diperlukan untuk mengembangkan spesialisasi dan teknisi dalam profesi tersebut. Harus ada beberapa ketentuan tentang sifat-sifat latihan, baik melalui peraturan pemerintah maupun melalui suatu sistem akreditasi terhadap lembaga-lembaga latihan yang meliputi sifat dan isi pendidikan profesional, standar sertifikasi, standar dan ketentuan penerimaan calon peserta latihan, serta penempatan.
Standar dan Etika. Perumusan etika menunjukkan bagaimana anggota profesi itu harus bertingkah laku. Seperangkat standar memberikan petunjuk mengenai bahan, peralatan, dan fasilitas yang digunakan oleh orang-orang dalam profesi tersebut. Namum demikian, publikasi kode etik dan buku petunjuk tentang standar itu sendiri tidaklah dapat memberi jaminan apa-apa. Profesionalisasi itu terjadi bilamana dimungkinkan adanya pemaksaan yang kuat untuk melaksanakannya.
Kepemimpinan. Kepemimpinan diperlukan untuk memanfaatkan setepat-tepatnya penemuan-penemuan yang ada sekarang dan melihat kecenderungan di masa mendatang. Namun demikian untuk menghindari keadaan banyaknya inovasi yang ada sekarang yang membuat pusing karena desakan dari luar kita, maka kepemimpinan ini harus datang dari profesi ini sendiri.
Asosiasi dan Komunikasi. Organisasi profesi yang kuat diperlukan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan karakteristik lainnya terutama standar dan etika, kepemimpinan dan latihan. Hanya organisasi yang kuat yang dapat memaksakan dengan sungguh-sungguh aplikasi praktis, standar dan etika.
Pengakuan sebagai profesi. Anggota profesi harus mempercayai adanya profesi dan bahwa mereka menjadi anggotanya. Eksistensi suatu profesi tidak dapat dipercayakan begitu saja kepada para pelaksana. Mereka harus menginginkan berdirinya dan mengakui pentingnya organisasi profesi. Mereka harus benar-benar menyadari akan keanggotaanya dalam organisasi profesi tersebut. Kesadaran ini dimanifestasikan dalam bentuk berdirinya asosiasi, terjelmanya ciri-ciri profesi lainnya dan penghargaan masyarakat umum terhadap para pelaksana bahwa ada organisasi profesi di mana mereka menjadi anggotanya.
Tanggung Jawab Profesi. Tidaklah cukup bahwa suatu profesi itu hanya sekedar menggunakan teknik intelektual untuk diaplikasikan secara praktis. Profesi harus juga mempertanggungjawabkan penggunaan teknik intelektual tersebut. Profesi harus bertanggung jawab atas penggunaan teknik intelektual dalam bekerja di masyarakat. Hendaknya senantiasa diadakan pengkajian tentang nilai kegunaannya dan jika mungkin mengambil sikap yang pasti terhadap masalah-masalah sosial yang dipengaruhi oleh hasil pekerjaan profesi tersebut.
Hubungan dengan profesi lain. Mungkin saja terdapat lebih dari satu profesi yang bekerja dalam bidang garapan teknologi pendidikan ini. Masing-masing profesi ini satu sama lain saling berhubungan baik secara eksplisit maupun implisit dalam beroperasi di bidang garapan tersebut. Hubungan ini harus diketahui, diidentifikasi, dan dikembangkan.


BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. Teknologi pendidikan adalah suatu proses terpadu yang melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, dan organisasi untuk menganalisa masalah-masalah pendidikan dan cara pemecahan, mengimplemintasikan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah yang berkenan dengan semua aspek belajar manusia.
2. Teknologi Pendidikan didefinisikan sebagai konstruk teoritik, bidang garapan dan sebagai profesi, yang dilihat dari tiga perspektif secara keseluruhan.
3. Karakteristik teori adalah : adanya suatu gejala, menjelaskan, merangkum, memberi orientasi, mensistematiskan, mengidentifikasi kesenjangan, melahirkan strategi untuk keperluan riset dan prediksi.
4. Karakteristik bidang garapan adalah : teknik intelektual, aplikasi praktis, dan keunikan.
5. Karakteristik profesi adalah : latihan dan sertifikasi, standar dan etika, kepemimpinan, asosiasi dan komunikasi, pengakuaan sebagai profesi, tanggung jawab profesi, hubungan dengan profesi lain.

2. Saran
1. Mahasiswa diharapkan dapat memahami Teknologi Pendidikan didefinisikan sebagai konstruk teoritik, bidang garapan dan sebagai profesi, yang dilihat dari tiga perspektif secara keseluruhan.
2. Diharapkan kepada para pendidik agar lebih baik lagi menempatkan diri dalam kegiatan pembelajaran.
3. Memperbanyak referensi sebagai bahan acuan bagi peneliti yang ingin lebih memperdalam konsep teknologi pendidikan sebagai konstruk teoritik, bidang garapan dan profesi

DAFTAR PUSTAKA


- AECT, 1977, Defenisi Teknologi Pendidikan : Satuan Tugas Defenisi Dan Terminologi, Jakarta, Rajawali.
- Miarso, Y., 2007. Makalah “Kontribusi Teknologi Pendidikan dalam Pembangunan Pendidikan“. Makalah disampaikan dalam Seminar Intenasional & Temu Ilmiah FIP/JIP se-Indonesia, Manado., 2007.
- Saettler, Paul, 1968, A History of Instructional Technology, New York, Mc Graww-Hill Book Co.
- Seels, Barbara B. dan Rita C. Richey, 1994, Teknologi Pembelajaran, Jakarta, Percetakan Universitas Negeri Jakarta.
- Thompson, Merrit M., 1963, The History of Education, New York, Barne & Noble, Inc.
- http://www.candilaras.co.cc. : Landasan Teknologi Pembelajaran

Faktor-Faktor Dan Karakteristik Filsafat Ilmu

BAB I

PENDAHULUAN

Mengapa manusia berfilsafat ? pertanyaan ini merupakan dasar dan titik awal manusia berfilsafat. Dalam kaitan ini perlu dijelaskan bahwa sepanjang sejarah kefilsafatan dikalangan filsut terdapat tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu : kekaguman atau keheranan, keraguan atau kesangsian, kesadaran akan keterbatasan. Dan pada umumnya seorang filsut mulai berfilsafat karena adanya rasa kagum atau adanya rasa heran dalam pikiran filsafat itu sendiri.

Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seoarang yang sedang berdiri di puncak gunung, memandang ke ngarai dan lembah dibawahnya, dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.

Dalam hal ini dialami oleh Plato ( filsut Yunani, guru dari Aristoteles ) menyatakan bahwa : “Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat.

Sementara Augustinus dan Rene Descartes memulai berfilsafat bukan dari kekaguman atau keheranan akan tetapi mereka berfilsafat dimulai dari keraguan atau kesangsian sebagai sumber utama berfilsafat. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh panca inderanya yang sedang heran ?

Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh dan kritis seperti ini yang disebut berfilsafat.

Berfilsafat dapat pula dimulai dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama di dalam menghadapi kejadian-kejadian alam. Apabila seorang merasa, bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa di luar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran hakiki.

Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang ada sekarang, dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tentang Filsafat

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang dalam perkembangannya berikutnya dikenal di dalam bahasa lain yaitu : philosophie ( Jerman, Belanda dan Perancis ), philosophy ( Inggris ), philosophia ( Latin ) dan dalam bahasa Indonesia filsafat berasal dari pemakaian dalam bahasa Arab falsafah yang berarti mencintai hikmah.

Pengertian filsafat berdasarkan asal kata tersebut akan menghasilkan pengertian yang berbeda-beda dalam makna yang tidak hakiki, jadi perbedaan tersebut hanya bersifat gradasi ( naik, yaitu dari ragu menjadi yakin ) saja. Aktivitas akal budi yang dilakukan oleh filsut yang berupa philosopein memiliki dua unsur pokok, yaitu pertama philein dan sophos, kedua philos dan sophia.

Akar pengertian istilah tersebut dapat diurai sebagai berikut. Pertama unsur philien dan sophos, philien berarti mencintai, dan sophos berarti bijaksana. Istilah philosophia dengan akar kata philien dan sophos berarti mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana. Istilah philosophia dengan akar kata philos dan sophia berarti kawan kebijaksanaan. Philosophia menurut arti katanya adalah cinta akan kebijaksanaan dan berusaha untuk memilikinya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa filsafat (philosophia) berarti cinta kebijaksanaan. Seorang filsut adalah pencari kebijaksanaan, ia adalah pencinta kebijaksanaan dalam arti hakikat. Seorang filsut mencintai atau mencari kebijaksanaan dalam arti yang sedalam-dalamnya. Seorang fisut adalah pencinta atau pemakaian istilah filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras. Pada saat itu pengertian filsafat menurutnya menurutnya belum begitu jelas, kemudian diperjelas oleh kaum sophist yang dipelopori oleh Socrates, yang telah menjelaskan pengertian filsafat yang tetap dipakai hingga saat ini.

Beberapa pengertian yang dirumuskan oleh para filsut diantaranya :

1. Plato, filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran asli.

2. Aristoteles, filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika ( filsafat keindahan ).

3. Al Farabi, filsafat adalah ilmu tentang alam wujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.

4. Rene Descrartes, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

5. Immanuel Kant, filsafat adalah ilmu yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan, yang didalamya tercakup masalah epistemologi ( filsafat pengetahuan ) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui ? Masalah etika yang menjawab persoalan apa yang harus kita kerjakan ?

6. Langeveld, filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah yang mengenai makna keadaan, Tuhan keabadian dan kebebasan.

7. Hasbullah Bakry, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia senhingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

B. Faktor – Faktor Filsafat

Faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya filsafat adalah sebagai berikut :

1. Pertentangan Mitos dan Logos

Di kalangan masyarakat Yunani dikenal adanya Mitos dan logos. Mitos sebagai suatu keyakinan lama yang berkembang dengan pesat, seperti mite kosmologi yang melukiskan kejadian-kejadian alam. Mite-mite tersebut tersusun sedemikian rupa sehingga menjadi keyakinan yang mapan, walaupun diakui mite tersebut tidak rasional. Di dalam penyusunan mite peran penyair sangat penting seperti Hesiodes ( 550 SM ) dengan bukunya ” Theogonia ” ( kejadian alah-alah ), Orpheus dari kalangan Orfisme dan Pherekydes dari Syros.

Logos adalah suatu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu siap untuk berfikir yang bisa diartikan dengan akal. Di dalam kehidupan mereka sering sekali dipertentangkan antara mitos dan logos yang dimenangkan logos.

2. Rasa Ingin Tahu

Adanya keinginan mempertentangkan antara mite dan logos disebabkan oleh rasa keingintahuan manusia tentang dunia yang dihadapinya. Mite-mite yang sifatnya tidak rasional memberikan ketidakpuasan manusia sehingga mendorong mereka mencari jawabannya pada logos. Jawaban-jawaban inilah yang kemudian disebut filsafat. Dalam kaitan ini Dick Hartoko mengatakan : filsafat berawal dari rasa heran dan kagum, hal-hal yang dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebelumnya luar biasa, kelahiran dan kematian, ada dan tidak ada susul menyusul. Manusia mencari prinsip umum yang mendasari keseluruhan sebagai suatu sistem atau struktur yang memberi arti kepada segala sesuatu.

3. Rasa Kagum

Selain rasa ingin tahu dan pertentangan antar mitos dan logos, menurut Plato, filsafat juga lahir karena adanya kekaguman manusia tentang dunia dan lingkungannya. Rasa kagum mendorong manusia untuk memberikan jawaban-jawaban dalam bentuk praduga. Praduga ini kemudian dipikirkan oleh logos dalam bentuk rasionalisasi. Rasionalisasi ini merupakan awal lahir filsafat, misalnya para filsut Yunani yang kagum terhadap alam semesta, mencoba merumuskan asal muasal arche dari alam semesta tersebut sehingga muncullah aneka teori diantaranya :

a. Thales yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari air

b. Anaximandros yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari apairon

c. Anaximenes yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari udara

d. Democrios yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari atom

e. Empedocles yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari empat unsur yaitu api, tanah, air dan udara

4. Perkembangan kesusastraan

Faktor lain yang juga penting adalah perkembangan kesusastraan. Kesusastraan Yunani mengandung ungkapan-ungkapan yang berisikan teka-teki, dongeng-dongeng dan ungkapan-ungkapan yang metaforis. Ungkapan-ungkapan tersebut diinterpretasikan oleh para pemikir Yunani seperti Homerus dalam karyanya Illusi dan Odyssea mempunyai kedudukan yang istimewa dalam perkembangan filsafat. Plato mengatakan bahwa Homerus sangat berperan penting dalam mendidik bangsa Hellas (Yunani). Lain halnya dengan K. Bertens, dia mengatakan bahwa karya Homerus seperti wayang dalam kebudayaan Jawa, karena berisikan pantun-pantun yang mempunyai nilai hiburan dan edukatif.

C. Karakteristik Filsafat

Pemikiran kefilsafatan memiliki ciri-ciri khas ( karakteristik ) tertentu, sebagian besar filsut berbeda pendapat mengenai karakteristik pemikiran kefilsafatan. Apabila perbedaan pendapat tersebut dipahami secara teliti dan mendalam, maka karakteristik pemikiran kefilsafatan tersebut terdiri dari :

a. Integralistik ( menyeluruh ), artinya pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi beberapa sudut pandangan. Pemikirann kefilsafatan meliputi beberapa cabang ilmu, dan pemikiran semacam ini ingin mengetahui hubungan antara cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya. Integralitas pemikiran kefilsafatan juga memikirkan hubungan ilmu dengan moral, seni dan pandangan hidup.

b. Fundamental ( mendasar ), artinya pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang fundamental ( keluar dari gejala ). Hasil pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar berpijak segenap nilai dan masalah-masalah keilmuan ( science )

c. Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran-pemikiran selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai medan garapan ( objek ) yang baru pula. Keadaan ini senantiasa bertambah dan berkembang meskipun demikian bukan berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah selesai seperti ilmu-ilmu diluar filsafat.



BAB III

PENUTUP

Dari uraian tersebut diatas, mulai tergambar bagi kita apa defenisi dari filsafat, walaupun masih sulit untuk mendefinisikan arti yang sebenarnya dari filsafat itu, karena filsafat memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan objeknya meliputi kesemestaan.

Kita juga dapat mengetahui mengapa manusia berfilsafat ? dimana pertanyaan ini merupakan dasar dan titik awal manusia berfilsafat. Rasa kekaguman atau keheranan, keraguan atau kesangsian mendorong setiap manusia berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian akan kebenaran yang hakiki, dimana berpikir seperti ini yang disebut filsafat.

Walaupun berfilsafat dapat pula dimulai dari kesadaran akan keterbatasn pada diri manusia. Dimulai apabila menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama di dalam menghadapi gejala-gejala alam.

Dan juga kita dapat mengetahui karakteristik pemikiran kefilsafatan yaitu : integralistik ( menyeluruh ), fundamental ( mendasar ) dan spekulatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan Bakti Nasution, 2001, Filsafat Umum, Jakarta, Gaya Media Pratama

2. Junus, H. Ismet, LMP, SDE, Pengantar Filsafat

3. Sudarsono, Drs., S.H., M.Si.,2001, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta

4. Suriasumantri, Jujun S., 2005, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

5. Tafsir, Prof. Dr. Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Bandung